| k e p i n g d u a p u l u h s a t u |

758 133 46
                                    

Dia pun langsung mematikan sambungan dengan Andin dan menelepon kembali Melisa. Panggilan pertama tidak ada jawaban, ia pun melakukan lagi panggilan ke dua. Masih tidak ada jawaban.

Ketika Martin hampir saja melempar ponsel di tangannya, sambungan telepon Martin pada Melisa terjawab.

"Mel lo di mana? Gue harus ketemu sama lo sekarang karena Median—"

"Melisa ada sama gue. Dan lo terlambat."

Jantung Martin berdegup kencang begitu mendengar suara Median di ujung sana. Tangannya terkepal, ia merasa Melisa tidak lagi aman.

"Di mana lo?" tanya Martin berusaha tenang.

Tidak ada jawaban, hanya suara napas dan tawa tertahan yang muncul dari ujung sambungan. Kesal karena Median tidak menjawab, cowok itu kembali bertanya.

"Mau lo apa sebenernya? Ngga usah main-main deh," seru Martin dengan nada kesal.

"Mau apa?" ulang Median. "Gue nggak mau apa-apa, Tin. Gue cuma pengin Melisa dapat apa yang seharusnya dia dapat dari dulu," jawabnya pelan.

"Ini bukan salahnya Melisa. Dia nggak ngelakuin apa-apa!"

"Siapa bilang dia nggak salah apa-apa? Lo nggak tau karena lo bahkan cuma bisa ninggalin dia di bawah hujan pas lagi ngumpet kan?"

Terdengar suara tawa Median yang dingin.

"Jangan muncul tiba-tiba dan bersikap sok pahlawan padahal sebenarnya lo penjahatnya," jawab Median lagi.

"Lo--"

Sambungan diputus secara sepihak oleh Median. Martin menggenggam ponsel di tangannya dengan geram. Ia semakin panik, apa yang sebenarnya terjadi? Median itu ... siapa cowok itu sebenarnya? Dan apa yang harus Melisa bayar?

☆ ☆ ☆

Melisa memainkan jarinya sambil menunggu Median kembali dari kamar mandi. Ia memandang sekeliling sambil sesekali melihat ke arah pintu. Saat ini ia berada di ruangan yang cukup besar dengan beberapa meja panjang.

Katanya, mereka yang dijenguk akan dibawa untuk menemui keluarganya di sini. Cewek bermata kecil itu menaruh tas di meja lalu mencari ponsel miliknya. Namun, ia tidak menemukannya. Tidak ambil pusing, ia akan menunggu Median dan meminjam ponsel cowok itu untuk menelepon ke ponsel miliknya. Mungkin saja ponsel itu ada di mobil dan tertinggal kan?

Sekitar lima menit kemudian Median terlihat di ujung ruangan sedang berbincang dengan salah satu perawat. Sambil tersenyum, ia berjalan ke arah Melisa.

"Lama ya?" tanyanya sambil melihat Melisa.

Melisa menggeleng. "Nggak kok, Median. Gimana? Bokap lo bisa dijenguk?"

"Bisa kok," jawab Median. Ia mengeluarkan benda berlayar datar dari dalam sakunya. "Ini tadi HP lo ketinggalan Mel di mobil. Karena gue takut ini penting, jadi gue bawain."

Mata Melisa membulat senang. "Makasih Median! Gue emang lagi cari HP gue daritadi. Udah panik aja takut jatuh atau gimana."

Belum sempat Median menjawab, dari ujung ruangan terlihat seorang suster mendorong kursi roda yang berisi pasien laki-laki ke arah dalam ruangan. Median menggeser kursinya, lalu menggenggam tangan Melisa.

"Itu bokap gue Mel."

Melisa memperhatikan wajah laki-laki yang duduk di kursi roda itu. Kerutan tampak di wajahnya yang lelah, tapi gurat wajahnya masih cukup jelas. Sangat mirip dengan Median. Mulai dari rahangnya yang kotak hingga lesung di pipi, sampai bagaimana cara laki-laki itu tersenyum walau samar. Hanya rambut yang sudah mulai memutihlah yang membedakan Median dan laki-laki itu.

a Puzzling of Journalism [END]Where stories live. Discover now