Part 1 - First Page

84.9K 2.1K 64
                                    

Part 1

"When you meet someone for the first time, that's not the whole book. That's just the first page" – Brody Armstrong

Banyak yang bilang Jakarta itu kota harapan, tempat paling tepat untuk meraih mimpi. Jika hal itu tidak benar rasanya tidak mungkin puluhan juta jiwa, yang sebagian besar adalah pendatang, berlomba-lomba memenuhi setiap sudut kota metropolitan ini.

Aku juga menikmati masa-masa itu. Masa dimana harapanku meraih mimpi menjulang tanpa batas. Kemegahan yang menyambutku di sepanjang jalan kota membuatku takjub seketika. Gedung –gedung pencakar langit lengkap dengan pergerakan orang-orang yang sibuk dengan aktifitas mereka membuatku tidak sabar menjadi bagian dari kota ini. Aku bahkan harus mengingatkan diriku untuk bernafas saat terhanyut dengan segala kemegahan yang menyambutku waktu itu.

Setidaknya butuh lebih dari satu bulan untuk aku mulai menyadari betapa sesaknya kota ini. Kemegahan yang pernah kulihat itu lambat laun memudar kemudian berganti menjadi rasa jengah. Nyatanya tinggal di kota ini begitu menguras tenaga dan waktu. Bahkan saat berada di dalam transportasi andalan kota ini, Transjakarta, aku harus mengerahkan seluruh kekuatan di pergelangan tangan untuk menahan tubuhku agar tidak jatuh terhuyung.

Saat mulai menapaki jalan menuju koridor Benhills dengan jembatan penghubung dari Halte Semanggi, jam tangan coklat yang melingkar di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 07.15. Artinya, aku tidak perlu terburu-buru menelusuri jalan antar koridor yang kuperkirakan berjarak satu kilometer ini.

Sudut kota semanggi merupakan bagian Jakarta paling hijau yang pernah kulihat sejauh ini. Sebuah mall besar di sisi kiriku terlihat kontras dengan kehijauan yang ada pada bagian tengah kota. Meski bau asap kendaraan yang melintas dari bawah jembatan tempat aku berada dapat tercium samar-samar, udara sejuk dan angin yang menerpa wajahku mengingatkanku akan rumah.

Meskipun masih terbilang pagi, sudah banyak orang yang memenuhi halte ini. Beberapa orang menunggu sambil duduk dan tampak sibuk menatap ponsel mereka. Beberapa orang lainnya berdiri di pintu tempat naik turun dengan setia menatap kosong ke arah jalan seolah berharap bus yang dinantikan datang.

"Kamu?"

Seorang pria berkemeja hitam dengan setelan celana dan sepatu dengan warna senada tersenyum ke arahku. Aku mengeryitkan kening berusaha mengingat wajah di depanku. Sebelum aku mendapatkan jawaban, ia sudah mengambil posisi kosong di sebelahku.

"Kamu bagian purchasing PT. SmartSource yang baru gabung, kan?"

Aku mengangguk.

Meski terganggu dengan intesitasnya memandangku saat berbicara, suaranya terdengar ramah.

"Evan dari bagian marketing, "

Ia tersenyum kemudian mengulurkan tangannya.

Meski tidak nyaman dengan konsep bersentuhan dengan orang asing, aku akhirnya menyerah dan menyambut uluran tangan itu. Setidaknya ia bukan sepenuhnya orang asing. Kami bekerja di tempat yang sama.

"Lulu."

Dia masih tersenyum saat aku melepaskan genggaman tangan berserta pandanganku darinya.

"Kamu selalu berangkat jam segini?"

Aku mengangguk masih tanpa membalas tatapannya.

"Kalau pagi begini memang sepi. Pasti dapat tempat duduk," ucapnya lagi sambil terkekeh.

Ada kepuasan dari nada yang digunakannya. Mengherankan bagaimana ada orang sepertinya yang bisa dengan mudah bisa tertawa dengan orang asing yang baru saja dikenal.

Peek A Boo Love [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now