LUV | 1 - Reason for living

42 10 5
                                    

Sedari kecil, Putri sangat menyukai kisah Cinderella. Dia akan meminta ibunya membaca ulang cerita itu setiap malam, sampai lembaran bukunya lusuh dan lepas-lepas. Putri hafal setiap kalimat dalam buku, sampai tanda titik dan komanya. Setelah itu, dia akan terlelap dan bermimpi jadi salah satu tokoh dalam cerita. Tidak, dia bukan ingin menjadi upik abu, yang berubah menjadi putri rupawan dan mencuri hati sang pangeran. Putri sangat mengidolakan Ibu Peri, the fairy godmother. Dengan jentikan jari dan lambaian tongkat sihir, Ibu Peri bisa mengubah Cinderella yang kotor dan dekil, menjadi putri cantik dan menawan. Itulah mengapa Putri sangat menikmati profesinya sebagai perias pengantin.

"Mbaaak," rengek sang calon pengantin begitu melihat Putri, "tolongin aku Mbaaak." Dia mau menangis. Wajahnya kemerahan, seperti habis terbakar matahari. "Hari ini jadwal foto prewed, tapi gimana wajahku malah kayak gini?"

"Lho, kenapa itu? Apa yang terjadi?" Putri segera membuat konde di puncak kepala, sebagai penanda dia siap bekerja. Mata cokelatnya memindai wajah gadis tadi dengan ekspresi penuh selidik. Kelihatan sekali, otak Putri sedang mengatur strategi, bagaimana caranya mengatasi tantangan ini.

"Bunda nyuruh aku pakai serum apa gitu, barang jualan teman arisannya. Katanya bagus biar kulit nggak kelihatan lelah, juga buat menghilangkan kantong mata. Soalnya aku sudah beberapa hari nggak bisa tidur. Baru kupakai semalam, bangun-bangun wajahku begini. Huwaa, Mbaak, masa mukaku merah kayak kepiting rebus begini, mana bagus nanti fotonya buat dipajang di gedung resepsi."

"Kulit kamu sakit nggak? Perih gitu?"

"Untungnya nggak, Mbak. Cuma penampakannya aja mengerikan gini."

"Lain kali kalau mau coba produk, oleskan dulu di kulit belakang telinga."

"Huhuhu, iya Mbak. Harusnya aku telepon dulu ya, Mbak Putri kan lebih ngerti soal beginian. Aku harus gimana, Mbak? Bisa ketutup make-up nggak, ya?"

"Kita coba dulu. Ayo, duduk sini."

Putri menyingsingkan lengan baju dan mulai mengoleskan pembersih wajah dengan hati-hati. "Sakit, nggak?" Dia berulang kali mengecek kenyamanan kliennya. Setelah mendapat respon positif dan memastikan kliennya nyaman, Putri melanjutkan proses make-up, mulai dari pelembap, primer, dan foundation.

"Maaf ya, foundation-nya Mbak bikin agak tebal. Merk ini ringan di kulit, jadi masih bisa nafas kulitnya. Tapi, nanti kalau sudah selesai sesi pemotretan, tetap harus segera dibersihkan."

"Ya, Mbak."

"Kamu jangan pakai make-up dulu beberapa hari ya, biar pulih dulu kulitnya."

"Baik, Mbak."

"Serumnya jangan dipakai lagi, kayaknya keras banget tuh kandungan dalemnya, kulit kamu sampai kebakar gini."

"Oke, Mbak."

Setelah molor satu jam dari rencana, akhirnya ruam kemerahan di kulit wajah gadis itu tersembunyi di balik riasan. Putri memutar kursi tempat gadis itu duduk, lalu mundur satu langkah. Sambil berkacak pinggang, Putri berdecak puas dengan hasil pekerjaannya.

"Waah, Mbaak. Ini keren bingits. Merah-merahnya sama sekali nggak kelihatan." Gadis itu mendekati cermin dan meneliti lapisan bedak yang sempurna menutupi wajah yang tadinya merah. "Makasih, Mbak Putri. You're the best. Uangnya nanti aku transfer, ya." Putri mendapat satu pelukan erat, sebelum gadis itu meninggalkan ruang rias.

Putri membenahi peralatan make-up lalu melirik jam tangan klasik bertali kulit. Masih ada waktu dua jam sebelum acara Tyas dimulai. Bibir merahnya tersenyum, tak sabar ingin menyaksikan kehebatan sang adik menaklukkan pentas lomba busana. Tak ada yang lebih membanggakan, selain melihat kesuksesan adiknya. Putri yakin, almarhum Mama pun akan bangga pada mereka berdua.

LUVOSCOPYWhere stories live. Discover now