13. BREAKING HEART

371 70 23
                                    

Sebenarnya, sudah lama aku dan Erlangga enggak ber-elo-gue

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sebenarnya, sudah lama aku dan Erlangga enggak ber-elo-gue. Kami sama-sama enggak nyaman menggunakan bahasa begitu. Berbeda dengan Brian yang berasal dari kota Bandung dan sudah terbiasa menggunakan elo-gue dengan teman-temannya. Lila dan dan Bima, temannya di semester atas juga lebih memilih ber-aku-kamu. Rasanya lebih nyaman, mungkin karena sejak kecil kmi dibesarkan di lingkungan njawani, jadi terbiasa aku-kamu.

Namun, kali ini pertanyaan-pertanyaan Erlangga tentang Evalia membuatku enggan beraku-kamu. Sumpah. Aku sudah berusaha diam dan enggak menanggapi ocehannya, tapi dia terus saja mendesakku. Sampai motor yang kami tumpangi terparkir di area parkir kampus, Erlangga kembali bertanya, "Mai, jawab, dong. Kok, kamu enggak pernah bilang kalau adikmu itu penulis idolaku, padahal waktu di taman pintar aku udah cerita, kan, kalau aku suka banget sama buku-buku karya Evalia."

Aku enggak menyerahkan helm ke tangan Erlangga seperti biasanya. Kali ini aku memilih meletakkannya dengan kasar di atas motor lelaki yang memiliki rahang tegas dengan bibir kemerahan itu. "Aku enggak suka buku-buku filsafat dan sajak. Jadi, aku enggak terlalu nyimak waktu kamu cerita soal itu."

Meski kesal, aku tetap berusaha enggak menunjukan dengan gamblang perasaanku pada Erlangga. Aku berharap jawaban tadi bisa mengakhiri pembahasan tentang Evalia. Sia-sia. Erlangga sepertinya enggak menangkap sinyal keenggananku terhadap topik ini.

"Oke, tapi kenapa kamu enggak pernah cerita kalau adikmu penulis buku. Padahal kamu tahu aku suka banget sama buku-buku," cecar Erlangga lagi.

Aku menghela napas cepat. "Kalau Evalia seorang penulis, terus gue harus bangga dan ngumumin ke semua temen gue, gitu? Denger ya, Ngga, mau dia penulis, kek, mau dia astronot, presiden Zimbabwe sekalipun, i don't give a shit."

Setelah mengatakan itu, kutinggalakan saja Erlangga dengan tampang tercengangnya. Mungkin Erlangga terkejut dengan sikapku yang enggak biasanya ini. Jangankan dia, aku saja nggak menyangka bisa bereaksi begitu, kok.

Tadinya, aku berniat ke perpustakaan untuk mengembalikan buku-buku yang tadi pagi Erlangga sebutkan, tapi dengan cepat kuurungkan saja niat itu. Saat ini aku lagi enggak pengin ketemu bahkan mengobrol dengn Erlangga. Kalau aku ke perpustakaan, sudah pasti dia akan dengan cepat menemukanku.

Aku berjalan terus sampai di halte penyewaan sepeda. Setelah memberikan kartu tanda pelajar pada petugas, aku langsung memilih satu sepeda dan mengayuhnya. Apa aku sudah pernah cerita kalau kampusku ini super luas? Bahkan untuk berpindah dari satu fakultas ke fakultas lain kota perlu naik kendaraan. Makanya, di kampusku menyediakan penyewaan sepeda dengan beberapa titik halte.

Aku terus mengayuh sepeda tanpa arah dan berkeliling memutari fakultas. Kelas pertamaku baru akan dimylai dua jam lagi. Jadi selama dua jam ini, aku enggak pengin bertemu Erlangga.

Aku berhenti tepat di replika rumah joglo yang terletak di dekat fakultas kedokteran. Aku turun dari sepeda dan duduk di pelataran. Sambil meneguk air di dalam botol, kusndarkan kepala di pilar kayu. Rasanya, baru tadi pagi alu bahagia dan tertawa bersama mama, tapi sekarang begitu mudahnya perasaanku terbalik.

BRAINWASH (COMPLETED)Where stories live. Discover now