17. LIER

341 53 8
                                    

Hal terakhir yang kuingat adalah aku tidur sambil tersenyum penuh kemenangan, tapi kenapa sekarang tubuhku kembali kecil? Rambutku dikuncir dua seperti saat masih berusia empat tahun

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

Hal terakhir yang kuingat adalah aku tidur sambil tersenyum penuh kemenangan, tapi kenapa sekarang tubuhku kembali kecil? Rambutku dikuncir dua seperti saat masih berusia empat tahun. Seseorang membelai rambutku. Sentuhannya terasa lembut dan menyenangkan. Setiap kali kulitnya menyentuh kulitku, rasanya hangat dan penuh cinta. Ahh, iya. Sentuhan mama saat aku kecil dulu, kan, selalu penuh cinta seperti ini.

"Maira." Suara itu terdengar samar-samar. Nada lembut itu menyapa gendang telingaku.

Meski terdengat menyenangkan, tapi aku yakin itu bukan suara mama.

"Maira." Suara itu kembali hadir berbarengan dengan sentuhan di helai rambutku.

Saat sebuah tangan menyentuh dahiku, aku terperanjat hingga terbangun dari mimpiku. Saat mataku sudah menyesuaikan dengan cahaya di dalam kamar, aku mendapati mama Ambar duduk di tepian temoat tidurku. Sambil tersenyum, mama Ambar kembali menyentuh keningku perlahan.

"Masih demam, Sayang?" tanya mama Ambar dengan senyum khasnya.

Aku menggelengkan kepala dengan kaku. Rasanya aneh mendapati mama Ambar di dalam kamarku. "Sudah mendingan," jawabku.

"Syukurlah," kata mama Ambar dengan wajah lega. "Tante bawakan susu dan bubur ayam kamu sarapan." Mama Ambat menunjuk makanan yang sudah ia letakkan di atas nakas kamarku.

Aku mengangguk tanpa mau repot-repot mengucapkan terima kasih. Untuk apa? Toh, aku enggak memintanya melakukan itu, kan?

Mama Ambar terlihat berpikir. Ia seolah tengah menimbang apa yang akan dikatakannya. Bosan menataonya seperti itu, kukatanakn saja, "kalau enggak ada lagi yang mau tante omongin, aku mau mandi dulu."

Mama Ambar menggelengkan kepala dengan cepat. "Bukan..." Ia membasahi bibirnya. "Hanya saja laptop Evalia rusak," katanya lagi.

Aku menatapnya dengan tatapan seolah berkata, "terus?"

"Apa kemarin sore kamu pakai laptop Evalia?" tanya mama Ambar ragu-ragu.

Aku menunjukan raut tersinggung. "Apa tante nuduh aku?" tanyaku dengan nada dingin. "Aku kemarin sore memang ada di rumah, tapi apa itu bisa dijadikan alasan buat nuduh aku?"

"Bukan, bukan begitu," kata mama Ambar dengan cepat. Raut wajahnya berubah panik.

Demi menguatkan alibiku, kutunjuk laptoo yang ada di atas meja belajarku. "Buat apa aku pinjam laptop orang? Mama ngasih aku laptop paling canggih dan keluaran terbaru. Apa aku lebih baik enggak usah pulang saja ya kalau rumah lagi enggak ada orang. Biar enggak dituduh seenaknya," sinisku.

Aku takjub dengan kemampuan sandiwaraku. Sejak kapan aku pintar bermain peran seperti ini?
Ahh, lagipula untuk menghadapi orang-orang licik seperti mama Ambar dan Evalia, kan, memang diperlukan keahlian begini.

Mama Ambar menggeleng lemah. "Maafin tante. Tante enggak bermaksud nuduh kamu..." Kalimatnya menggantung. Ia menarik nafas sebelum kembali berkata, "Evalia lagi ada deadline naskah novel. Keadaan ini bakal sangat merepotkan buat dia."

BRAINWASH (COMPLETED)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ