Bab 2 - Remaja dan Egonya

1.4K 152 12
                                    

Happy reading!

----

Tadinya kukira dunia perkuliahan akan jadi sebuah gerbang indah ketika aku akhirnya bisa bebas dari dunia putih abu-abu yang membosankan. Kenyataannya, ekspektasiku terlalu tinggi. Perkuliahan penuh dengan tugas-tugas, belum lagi dosen yang killer, serta teman-teman yang individualis. Kalau di SMA, aku bisa saja tidak mengerjakan PR, lalu selanjutnya akan dimarahi guru. Namun, di dunia perkuliahan, aku harus mengubah kebiasaan burukku itu. Oh ya, sebenarnya ada satu kelebihan ketika masuk dunia kuliah; aku bisa melakukan mix and match pakaianku. Bukan lagi seragam putih abu-abu yang monoton, buluk, dan kebesaran itu (di sekolahku ada aturan kalau rok harus di bawah lutut, huh!).

Di kampus, aku jadi dekat dengan Genta. Berhubung kami satu kelas, oh ya juga Eva. Eva tidak punya teman selain aku. Alhasil kami selalu bertiga ke mana-mana. Di setiap angkatan pasti ada ketua kelas. Untuk kelasku, Genta mendapatkan amanah itu . Jadi biasanya dia paling sibuk, entah itu dipanggil dosen untuk menyampaikan tugas ke teman-teman kalau mereka berhalangan hadir, mengoordinir teman-teman kalau disuruh iuran beli keperluan perkuliahan. Kadang aku jadi kasihan dengan Genta, dia tuh terlalu baik sampai rela disuruh orang-orang.

Pernah ada satu momen saat dia disuruh membuatkan tugas anak di kelas yang lupa mengerjakan. Padahal dia sendiri kesusahan mengerjakan tugasnya, tapi dia mau-mau saja. Waktu mendengar itu, aku marah kepadanya.

"Aku dengar kamu ngerjain tugasnya Baroh," tukasku kepadanya ketika pulang kampus saat dia sedang makan soto ayam depan fakultas.

"Hm."

"Kenapa mau?"

"Kasian dia."

"Dia pemales. Kamu sama aja bikin dia makin bodoh."

"Dia bilang mau jaga ibunya di rumah sakit."

"Alasan dia aja, aku lihat dia nongkrong sama teman-temannya di Beringin Cinta."

"Ya udah kalau dia bohong. Biar urusan dia sama Tuhan."

"Kamu tuh! Ini kesekian kali kamu dibegoin sama anak-anak di kelas, jangan semua yang disuruh tuh mau-mau aja. Tugas komti tuh cuma ngatur dan perantara pesan dari dosen, bukan disuruh-suruh paham nggak? Fotokopi tugas, itu bukan tugas komti! Ngerjain tugas juga bukan tugas komti!" Aku meledak. "Kayak nggak ada harga dirinya banget jadi laki-laki."

Dia menghentikan makannya lalu menatapku. Itu kali pertama tatapannya terlihat dingin kepadaku. "Jadi menurut kamu aku laki-laki yang nggak ada harga dirinya?" tanyanya.

"Iya. Nggak tegas! Mau aja disuruh-suruh."

"Ooh, laki-laki yang mau disuruh-suruh tuh berarti menurut kamu nggak ada harga dirinya?" dia mengulangi pertanyaannya.

"Iya!"

"Kalau menurut kamu gimana, Va?" Genta menatap Eva yang duduk di sebelahku. Eva tampak kikuk.

"Nggak tahu, ah."

"Jawab dong, Va," aku mengompori Eva.

"Yah aku nggak tahu." Eva memang paling anti berdebat, ah dia sama aja dengan Genta.

"Terserah sih kalau kamu nggak mau nerima omonganku, tapi menurutku kamu nggak tegas. Jadi orang tuh harus punya prinsip, kali. Jangan mau disuruh-suruh begitu. Kalau kamu jadi kepala rumah tangga, aku sih, bakal marah besar lihat suamiku disuruh-suruh orang begitu. Kamu kan bakal jadi kepala rumah tangga suatu hari nanti. Udah deh kalau emang nggak mau terima kritik dari aku, sana terima aja disuruh-suruh sama orang ... nggak berani bilang iya, nggak berani nolak. Biar kamu capek sendiri." Aku tahu omonganku memang keterlaluan, setelah mengucapkan itu, aku pergi. Waktu itu aku sama sekali merasa tidak bersalah. Ya, aku akui, aku memang egois. Remaja dengan sikap keras kepalanya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Namun, seiring waktu, semakin dewasa seseorang, pemikiran akan terus berubah. Itu sebabnya ada yang bilang bahwa manusia adalah makhluk yang dinamis. Aku belajar bahwa dunia tidak sepenuhnya mengitariku, ada hal-hal yang harus kulihat dari sudut pandang orang lain.

Kota Para PecundangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang