Those Who Lost Their Voice

338 48 42
                                    

KAU TAHU, pernah dalam tiga dekade, penduduk Kerajaan Elatian tak bisa bicara. Kerajaan yang terlupa dan tinggal nama, hancur ratusan tahun silam karena rindu sang ratu pada rajanya.

Kicauan burung-burung dan derikan sayap jangkrik serta kilauan mentari masih menemani setiap hari. Tetapi, sepanjang kau berjalan di bulevard, sebanyak apapun warga di sana, tak ada lisan yang tercuapkan. Hanya gestur yang membantu mereka 'berbicara', membuat seluruh warga seolah berdansa.

Jika mendengar cerita itu sekarang, tentu tak ada yang masuk ke logika. Bagaimana mungkin manusia tidak bisa bicara? Dalam satu kerajaan, pada kurun waktu tiga puluh tahun pula?

Meski ratusan kali sudah anak-anak di Panti Asuhan Apple Blossom mendengar kisah itu, mereka tetap berkumpul di tengah ruangan; menjadikannya dongeng pengantar tidur yang membuat mereka enggan pergi ke mana-mana. Menyambut malam, mengelilingi sang penjaga panti berjulukan Hira sang Janda.

Jangan salah dengan wajahnya yang tampak belia, perempuan bermanik hitam dengan kulit cerah itu sudah hampir kepala lima. Rambutnya yang berwarna gelap ia kepang rendah. Selendang ungu selalu tersampirkan di bahunya. Meski pakaian sang penjaga selalu kelabu dan kusam, perempuan itu tetaplah seindah dan sebening kaca.

Sepekan lalu, Hira sang Janda menceritakan bagaimana kerajaan ini kehilangan suara mereka. Malam demi malam begitu membekap. Kerajaan Elatian tak lagi menyanyi. Penduduknya kerap menatap kastil yang jauh di utara, mempertanyakan apa gerangan yang terjadi. Tutur Hira sang Janda, tragedi ini berakar dari kesedihan yang berbuah kutukan.

Duka sang permaisuri membawanya pada perjanjian dengan penyihir hitam yang tinggal di pedalaman hutan, memanggil iblis perkasa dari Naraka dengan janji-janji yang melibatkan jiwa.

"Apa yang membawamu ke sini, wahai Ratu Elatian?"sambut sang penyihir dengan pakaian serba hitam. Surai panjang peraknya kusut, menutupi wajah yang penuh bisul dan kurap. Alih-alih ketenangan, manik hijaunya memancarkan kepicikan.

Jemari kurus dan keriputnya mengarah ke dalam pondok dengan kuali besar di tengah ruangan. Kabinet yang mengelilingnya terpenuhi labu ukur, beberapa tertutup gabus, berisi larutan warna-warni yang takkan ingin kau sentuh. Tak memperdulikan status si pengunjung, penyihir itu mempersilakan sang permaisuri duduk di atas kursi usang berbau apak. Saking gelapnya pondok itu, kelembaban dan jamurlah yang bersemayam di bantalnya.

Sang Ratu memilih berdiri dan melipat kedua tangannya. Berdecih, si penyihir melanjutkan, "Apakah ini terkait mendiang suamimu? Sang raja perkasa yang celaka? Sudah tiga warsa berlalu namun, kudengar luka di hati Yang Mulia tak kunjung uras juga."

"Separuh jiwaku hilang sudah," tanggap sang permaisuri, sendu, "Kewajibanku terus kujalani namun hati kerap tak terisi. Senyum palsu inilah yang membawa rakyatku berbahagia. Sayang, aku pun ingin merasakan hal yang sama."

Oh, betapa kebahagiaannya takkan tergantikan dengan gelimang harta serta pakaian mewah. Semua materi fana kecuali waktu yang dihabiskan bersama sang raja. Senyum lembut serta tawa sang mendiang takkan lagi memenuhi sanubarinya, begitu pedih dan menyakitkan.

Si penyihir mendekati sang ratu, tangan kanannya terasa kasar ketika menangkup wajah perempuan berkasta lebih tinggi darinya. Senyum miringnya mengejek, matanya melengkung, menunjukkan keriput jelek. "Dan ke sinilah Yang Mulia mencari jawaban? Betapa putus asa."

Penyihir itu terkekeh, melenggang mengitari kuali. Melempari labu berisi larutan-larutan ke dalamnya. Cahaya demi cahaya silih berpendar. Sejumput ini dan itu sang penyihir masukkan, mengepulkan asap dan bebauan yang tak menyenangkan indra.

"Kebahagiaan yang kau cari, kebahagiaan yang ingin kau miliki. Sayang seribu sayang ada harga yang harus dibayar. Apa yang akan kau berikan, wahai Yang Mulia, jika aku meminta kerajaanmu sebagai imbalannya?"

The Book of Love and WanderWhere stories live. Discover now