Lonely Heaven

54 6 12
                                    

MAUT MEMBAWAKU ke tempat yang bagus. Surga, katanya, Tempat Baik, apapun itu namanya. Sebelum dibawa ke surga kecil ini, mataku ditutup sehelai kain. Jiwa manusia dilarang untuk melihat bagaiamana pasca kehidupan bekerja, begitu jawabnya ketika aku bertanya. Ketika tiba, penutup mataku dibuka dan ruangan yang begitu familar menyambut. Meski aku tak lagi memiliki raga, namun emosiku membuncah melihatnya.

Memori masa kecil, hal-hal yang membawa kenyamanan menggetarkan hati dan air mata haru membanjiri. Tak bisa berkata-kata, kupandang Maut yang menatapku dengan kepala miring. Entah memang sosoknya seperti itu, tapi Maut berwujud seperti pria baik dan rupawan. Ia berdasi merah dengan motif tengkorak dan mengenakan setelan rapi berwarna hitam. Kulitnya pucat dengan keriput di sudut mata serta keningnya, namun potongan rambut klimis sosok itu membuatnya bak anggur tua yang siap ditenggak.

Dia mungkin mengambil wujud itu agar tidak membuat jiwa-jiwa yang ia bawa ketakutan. Meskipun itu hanyalah pradugaku belaka.

"Selamat menjalani kekalanmu di sini," Maut berdiri di ambang pintu, berucap tanpa emosi. Ia mungkin sudah bosan mengatakan hal yang sama terus menerus pada jiwa-jiwa lain, namun masih mencari padanan kata yang pas, "Akan ada... kolegaku nanti. Dia yang kau sebut dengan... 'malaikat'. Tanyakan segala macam hal padanya, itu tugas dia untuk menjawab."

"Jadi begitu saja?" pertanyaanku disambut pandangan kebingungan Maut, "Ini... akhirat?"

Sosok itu melihat ke atas, berpikir sejenak, "Oh ya. Bisa dibilang begitu," jawabnya singkat, "Kau bagian dari itu; orang baik. Kau beruntung bisa masuk ke sini, mengesampingkan hal-hal apa saja yang telah kau lakukan sewaktu hidup. Mungkin kau akan mengingatnya, mungkin juga tidak. Yah, siapa tahu 'kan?"

Maut menambahkan, "Oh ya, ada satu hal yang hampir kulupakan: kau tidak punya pasangan. Jangan coba mencarinya ya."

Begitu saja; Maut pergi dan pintu itu terkatup rapat.

Tidak punya pasangan. Haruskah pernyataan itu menggangguku? Yang kupertanyakan adalah bagaimana aku bisa datang ke sini. Bagaimana aku mati? Kebaikan apa yang kulakukan hingga pantas bisa masuk surga? Aku...tidak ingat. Ah sudahlah, perasaan-perasaan itu tidak penting sekarang.

Alih-alih, yang memenuhi dadaku adalah perasaan nostalgik. Dihadapkan dengan ruangan yang begitu familier, aku mengamati ruangan dari ujung ke ujung dengan kagum. Suaka kecilku, sebuah kabin tempat kami biasa menghabiskan libur musim panas sebelum terpaksa dijual untuk membayar hutang-hutang ayah. Semuanya masih sama seperti yang kuingat.

Kayu pinus mendominasi sudut serta strukur bangunannya, beberapa panel dicat biru sebagai aksen interior. Di dalam ruangan yang cenderung terang ini, perabot rotan bervernis putih tertata rapi, beberapa di antaranya dihiasi dengan bantal bercorak warna-warni. Pun, tanaman hijau serta bunga bertengger di dalam pot, sebagaimana ibuku biasa mempercantik kabin.

Sebuah pojok ruangan menarik perhatian. Ah, itu suaka kecilku. Pojokan yang dekat dengan lemari buku. Ketika ayah dan kakak pergi memancing, aku akan kembali ke kabin karena bosan mati gaya hanya untuk menggambar dan menyimpan benda-benda yang kukumpulkan: setangkai anyelir kukeringkan di dalam buku, biji-biji pinus yang kukumpulkan lalu kurangkai menjadi kalung atau boneka. Renik-renik berharga itu kukumpulkan ke dalam sebuah kaleng biskuit.

Pun, aku ingat ketika ayah mengajarkan untuk membersihkan sisik ikan yang ia tangkap, membuang segala jeroan supaya dagingnya tetap berasa manis ketika dimakan. Alih-alih, aku kabur membawa pisaunya karena tidak suka melihat darah.

Entah apa yang kupikirkan saat itu. Aku berlari ke pojokan ini dan menorehkan inisialku pada panel kayu dengan pisau itu. Guratannya kecil dan tidak dalam, tapi aku ingat setiap gerakan repetitif itu terasa menenangkan. Kepalaku tak lagi kalut, bahkan perasaan khawatir dimarahi ayah pun hilang. Kusimpan pisau itu di dalam kaleng, yang kemudian ayah temukan dalam sekejap. Ia tampak khawatir, entah karena pisaunya nyaris hilang atau anaknya berlarian membawa benda tajam.

The Book of Love and WanderWhere stories live. Discover now