Surat Misterius Buat Alena (2)

19 2 2
                                    

Cindy pulang duluan. Katanya kepalanya pusing. Apa gara-gara mikirin masalah Alena? Sahabatnya itu benar-benar perhatian sampai ikut pusing segala. Akhirnya Alena pulang sendirian. Di depan kampus, Tora mencegatnya.

"Sendirian, Len? Cindy mana?" tanyanya.

"Cindy nggak enak badan, tadi pulang duluan." jawab Alena.

"Lo, gue anter pulang ya?" pinta Tora.

"Nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, Alena. Dulu waktu SMA juga sering kan?"

Alena tersenyum. Dulu sewaktu SMA, Tora juga satu sekolah dengan dia dan Cindy. Dan Alena sering nebeng Tora karena rumah mereka searah.

"Lama juga ya gue nggak mampir ke sini?" gumam Tora ketika sampai di depan rumah Alena.

"Lo sibuk terus sih!"

Tora tertawa kecil.

"Mau minum apa, Tor?" tanya Alena.

"Terserah lo deh."

Alena masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar membawa segelas sirup dingin. Tora langsung meneguknya lalu berpamitan pulang.

Alena menuju kamarnya. Dia mencoba merebahkan badan. Tiba-tiba dia teringat Cindy. Dia udah baikan belum ya? Alena mencari ponselnya di tas. Dia mengeluarkan semua isi tasnya. Tiba-tiba dia menemukan sepucuk amplop putih. Pasti surat yang sama lagi. Alena segera membukanya.

Tiada kata yang mampu terucap kala terhampar siluet indahmu
Hanya sebuah rasa yang mengurai kisah dalam bahasa sandi
Engkau bidadari pagi, mengertikah apa yang tergores di hati ini?

Alena benar-benar tak habis pikir. Hatinya semakin bertanya-tanya, siapakah pengirim surat itu? Alena segera menghubungi Cindy.

"Lo udah baikan?" tanya Alena.

"Gue nggak apa-apa kok." jawab Cindy di seberang.

"Dia lagi, Cin! Surat itu lagi! Surat itu udah ada di tas gue."

"Ada yang lo temui tadi?"

"Tora! Dia nganterin gue pulang."

"Tora lagi?? Jangan-jangan memang dia."

Alena berpikir sejenak.

"Gue nggak yakin juga sih. Tapi tadi sebelum pulang, gue ke perpustakaan. Lo ingat kan sebelumnya surat seperti itu diselipin di buku yang gue pinjem di perpustakaan."

"Bisa jadi sih. Terus gimana dong?"

"Kalau kita tempel di mading lagi gimana? Sebelumnya kita emang gagal. Tapi siapa tau kali ini berhasil."

"Boleh juga. Besok kita berangkat pagi-pagi."

**

Alena buru-buru menempelkan surat itu. Kemudian dia dan Cindy bergegas meninggalkan papan mading. Mereka berharap kali ini mereka akan tau siapa pengirim surat misterius itu. Namun sepertinya mereka harus kecewa lagi. Pengirim surat itu tak pernah muncul. Justru mereka dikejutkan oleh surat yang ada di papan mading. Surat yang tadi mereka tempel telah lenyap dan justru digantikan oleh surat lain.

Pagiku takkan sempurna tanpa melihat rona indahmu
Namun mengapa ronamu berselimut kemuraman saat menggenggam bingkisan dari hatiku?

Mereka berdua saling berpandangan setelah membacanya. Cindy mengambil surat itu dan menyerahkannya pada Alena.

"Gue nggak tau lagi mesti gimana menghadapi orang ini. Capek gue, Cin!" desah Alena.

"Sepertinya emang beneran dia suka sama lo, Len." sambung Cindy.

Alena hanya terdiam.

"Ya udah, ke kantin aja yuk! Kita minum dulu biar enakan." ajak Cindy.

Alena mengangguk, lalu mengikuti langkah Cindy. Mereka duduk di meja paling ujung yang suasananya tak begitu ramai. Tora tiba-tiba menghampiri dan ikut duduk bersama mereka.

"Kenapa muka kalian manyun begitu?" tanyanya saat melihat Alena dan Cindy lesu.

"Nggak kok. Capek." Cindy beralasan.

"Cin, gue ke toilet bentar ya. Nitip tas gue." kata Alena pada Cindy.

Cindy mengangguk. Lalu melanjutkan obrolan dengan Tora. Cindy mencicipi bakso yang baru dipesannya.

"Ah, Bu Munah lupa nih kebiasaan gue. Sebentar ya, Tor. Gue mau minta garam dulu." kata Cindy lalu beranjak menuju dapur kantin.

Tora hanya geleng-geleng kepala. Cindy memang selalu ribut kalau makanannya kurang garam.

Cindy keluar dari dapur kantin dengan botol kecil garam. Alena yang baru kembali dari toilet berpapasan dengannya. Alena hanya tertawa melihat botol kecil garam di tangan Cindy. Saat akan kembali ke meja, mereka memergoki Tora sedang membuka tas Alena. Tora terkejut melihat kedatangan Alena dan Cindy. Dia menjadi salah tingkah ketika mata Alena dan Cindy melihatnya dengan penuh tanda tanya.

"Lo mau ngapain, Tor?" tanya Alena dengan sorot mata tajam.

"Gue...." sahut Tora bingung. Dia tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Alena mengambil tasnya. Dia menemukan sepucuk surat di dalamnya.
"Ini apa?" tanya Alena.

Tora diam.

"Jangan-jangan selama ini lo yang ngirim surat buat Alena!" sambung Cindy.

"Bukan gue, Alena." jawab Tora sambil menatap ke arah Alena.

"Tapi lo kan yang naruh surat itu di tas Alena?" suara Cindy mulai meninggi.

"Ok! Gue ngaku! Selama ini memang gue yang naruh surat di tas lo, di buku lo, di papan mading. Tapi surat itu bukan dari gue, Alena. Bukan gue yang nulis surat itu buat lo."

"Lalu siapa, Tor?" tanya Alena lirih.

"Gue nggak bisa bilang sama lo. Gue udah janji sama dia. Maafin gue, Len."

"Tolong, Tora. Siapa dia? Kenapa dia melakukan semua ini sama gue?"

"Harusnya lo tau kalau dia suka sama lo."

Alena terduduk. Jadi selama ini dugaan mereka benar. Orang itu memang suka padanya.

"Lo baca aja surat itu, Len. Sorry, gue nggak bisa bantu lo." kata Tora lalu bergegas meninggalkan Alena dan Cindy.

Alena membuka surat yang sejak tadi dipegangnya. Kepalanya benar-benar dipenuhi dengan banyak pertanyaan.

Benarkah cinta itu buta, Bidadari?
Benarkah hatiku dibutakan untuk tak bisa melihat pesona selain dirimu?
Aku tak sependapat!
Bagiku cinta tidak buta, karena dialah yang menuntun aku, menuntun kamu
Menuntun aku dan kamu
Menuntun kita

**

(Bersambung)

Sukoharjo, 14 Mei 2022
SURAT MISTERIUS BUAT ALENA
Taniya Naya

SURAT MISTERIUS BUAT ALENAWhere stories live. Discover now