Chapter 3 - Ketika Sang Kakak Bersabda

23 3 0
                                    

Waspada sama orang asing tuh wajar dek. Tapi emangnya wajar kalau terus nutup diri sama orang yang udah minta izin sama kakak?
~

Saat istirahat, biasanya Daffin akan lebih memilih untuk makan di kantin kantornya yang tak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Tapi lain dengan kali ini. Setelah ia menyeruput kopi di cafe Anin, ia berkeinginan untuk kembali.

Daffin langsung membuka pintu Cafe Solvit yang dari depan saja sudah kelihatan ramai. Maklum saja ini jam makan siang, akan ada banyak orang yang memilih singgah sebentar untuk mengisi perutnya. Disugarnya pelan rambut basahnya yang jatuh tepat mengenai maniknya, sepertinya Daffin harus meluangkan waktu untuk memotong rambutnya di tengah padatnya pekerjaan yang tengah membebaninya. Semoga saja Daffin tidak melupakan hal itu.

“Mau pesan apa Mas?” tanya Melvin dengan begitu ramah kala mendapati seorang lelaki dengan pakaian rapi tengah berdiri di hadapannya.

Daffin sempat menyunggingkan senyum tipisnya mendapati perlakuan ramah dari sang barista. Sepertinya Anin benar-benar memilih orang yang tepat untuk menjadi rekannya. Apa ia juga akan seteliti itu untuk mencari teman hidupnya? Ck, karena lapar pikiran Daffin jadi melantur ke mana-mana. Langsung saja ia menggelengkan kepalanya pelan, membuat Melvin mengerutkan keningnya. “Pastanya satu, sama Espressonya satu ya Mas,” jawab Daffin tanpa berpikir panjang.

Melvin seketika mengangguk. Walau sebenarnya penasaran, karena sebelumnya Daffin sempat menggelengkan kepanya sembari terkekeh kecil. Tapi dienyahkannya rasa penasarannya itu takut Anin memergokinya tengah memandangi seorang lelaki dengan tatapan intesnya. “Ditunggu sebentar ya Mas,” sahutnya yang diangguki Daffin dengan cepat.

Daffin tak mengerti. Mengapa teman-temannya tak ketularan sifat Anin yang begitu kalem, apalagi pembawaannya yang membawa ketenangan. Pantas saja Lingga dan Maga sangat betah jika berada di dekat sahabat perempuannya. Dulu memang Daffin sempat merasakannya, tapi kini aura itu sungguh menguar hingga membuat debaran di jantungnya menjadi tidak normal. Apa karena ia sudah lama tidak bertemu Anin yang sekarang terlihat sangat berbeda yah? Kepalanya seketika celingukan, mencari keberadaan Anin yang mungkin tengah membantu rekannya seperti beberapa hari yang lalu saat mereka reuni. Tapi nihil. Ia tak menjumpai gadis berkacamata yang mungkin tengah sibuk dengan pekerjaannya.

“Silahkan Mas.”

Perhatian Daffin seketika beralih. Waitres yang kemarin mengantarnya kini tengah meletakkan pesanannya dengan begitu hati-hati. Daffin langsung menyunggingkan senyumnya, yang membuat Arshi terperangah ketika melihat rambut basah yang ia kira terkena air wudhu, juga kemeja yang dilipat hingga sikunya. Apalagi mendengar Daffin mengucapkan terima kasih dengan suaranya yang begitu khas, Arshi langsung menahan tangannya untuk tidak gemetaran.

Ternyata Daffin tak memperhatikan respons yang diberikan Arshi hingga sang waitres pergi, ia justru langsung menyeruput kopi yang ditunggunya dengan bersemangat. Keningnya langsung mengerut dalam, dan tangannya langsung bergerak meletakkan kopinya kembali di atas meja.

“Mbak!” panggil Daffin cepat yang membuat Arshi langsung menghentikan langkahnya, dan menghampiri Daffin secepat yang ia bisa.

“Kenapa ya Mas?” tanyanya was-was. Takut jika dirinya sudah melakukan kesalahan.

“Ini kok kopinya rasanya beda yah? Kemarin saya pesan rasanya enggak gini loh Mbak,” jawab Daffin yang seketika membuat Arshi tertegun. Merasa bingung dengan pelanggannya yang tampangnya sungguh tak bisa ia lewatkan.

Arshi meneguk salivanya kemudian. Membasahi tenggorokannya untuk menjawab pertanyaan tak wajar yang Daffin lontarkan. “Di sini baristanya cuma satu Mas, jadi enggak mungkin loh rasanya beda,” sahutnya perlahan takut menyinggung sang pelanggan.

Devolver (COMPLETED)Where stories live. Discover now