18 - EMOTION

3K 261 2
                                    


MASA KINI

Iqbal menghela napas panjang sembari meregangkan otot-otot di lehernya. Beberapa hari ini dia sangat sibuk dengan kuliahnya dan tugasnya. Ditambah lagi dia harus membantu penelitian Profesor Tomi yang sangat Iqbal segani dan kagumi.

Iqbal merasakan tubuhnya sangat lelah, bahkan jam tidurnya pun banyak terpotong. Namun, Iqbal berusaha tetap menikmatinya karena itu pilihannya dan Iqbal merasa harus bertanggung jawab dengan pilihan itu.

Iqbal keluar dari kamar, langkahnya terhenti di tengah saat melihat sosok kakaknya tengah tertunduk di kursi makan. Semalam, Iqbal memang ingin tidur di rumah bukan di Apartmen. Ia tak menyangka, kakaknya pun tidur di rumah.

Iqbal perlahan mendekati sang Kakak, Ify.

"Kak," panggil Iqbal.

Ify tersentak kaget, ia segera menggosok pelan wajahnya seolah ingin menyembunyikan sesuatu dari Iqbal. Kemudian, Ify menoleh ke Iqbal dengan senyum dipaksakan. Dan, Iqbal sangat tau hal itu. Sesuatu telah terjadi kepada kakaknya.

"Hai, udah sarapan?" tanya Ify.

Iqbal menggeleng sebagai jawaban.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Iqbal tak mau basa-basi.

Ify mengembangkan senyumnya kembali.

"Nggak apa-apa."

Iqbal terdiam sejenak, menatap kakaknya lebih lekat. Iqbal tau kakaknya sedang berbohong. Iqbal mendekatkan kursinya.

"Kak, cerita sama gue. Ada apa?"

Ify menghela napas panjang, hatinya melemah jika sudah dipojokkan oleh Iqbal seperti ini. Senyum yang sedari tadi Ify pertahankan, akhirnya runtuh juga.

"Gue kalah tender lagi, Bal," ucap Ify dengan berat hati.

"Kak gue udah bilang, kan. Nggak apa-apa kalau se..."

"Apanya yang nggak apa-apa Bal? Ini bukan pertama, kedua atau pun ketiga. Gue udah lebih dari lima kali kalah! Gue ngerasa nggak bodoh banget. Gue udah berusaha pelajari semua materinya tetap saja gue seperti orang terpojokkan dan nggak bisa apa-apa." Ify mulai meluapkan masalahnya yang sudah lama ia pendam sendiri.

Iqbal tidak tega melihat sang kakak yang mulai rapuh.

"Kak, lo nggak bodoh."

Ify menggeleng cepat, kedua matanya menyorot nanar ke arah sang adik.

"Menurut lo, apa gue pantas nerusin perusahaan Papa, Bal?"

Untuk pertama kalinya, Iqbal mendengar kakaknya setidak percaya diri ini, yang menunjukkan Ify sedang ada di titik terlemahnya. Iqbal segera berdiri, kemudian memeluk sang kakak untuk menenangkannya.

"Kak, lo lebih dari pantas. Gue tau lo bisa. Lo ingat kan pesan Papa tentang kegagalan buat kita?"

"Iya, ingat banget."

Iqbal perlahan melepaskan pelukannya dan kembali duduk.

"Jadi, lo nggak usah takut kalau gagal. Lo semakin dekat untuk kejar sukses lo. Oke?"

Ify mengangguk lemah, hatinya terasa lebih ringan sekarang setelah meluapkan masalahnya kepada sang adik. Ify baru menyadari bahwa Iqbal sekarang sudah tumbuh lebih dewasa, bahkan bisa menenangkannya seperti tadi.

OUR MARIPOSAWhere stories live. Discover now