27. Kehidupan Baru

4K 436 90
                                    


"Gue juga nggak pernah berharap ada di posisi ini."

***

Tiga bulan berlalu. Tiga bulan juga Mentari menjalani hidupnya tanpa sang ayah dan tanpa Semesta. Juga tanpa sahabatnya, Jemisha. Iya, semenjak hari itu, hari di mana ia mendapatkan bentakan dari Semesta hingga menangis berhari-hari setelahnya, Mentari tidak lagi berusaha mengejar Jemisha. Semenjak hari itu Mentari berusaha lebih sadar dan tahu diri akan posisinya. Semenjak hari itu pula Mentari berusaha mengikhlaskan Semesta dengan segala rasa sakitnya.

Jika ditanya bagaimana kehidupannya yang sekarang? Tentu saja semua terasa berbeda. Banyak kehampaan yang Mentari temui setelah semua ini. Ketika melewati tempat makan yang Semesta bilang enak, ketika melihat cowok memainkan gitar untuk pacarnya, ketika melihat tempat-tempat di area kampus seperti foodcourt, ruang kelas, danau, rooftop, studio Aspire, dan beberapa tempat lainnya yang mengingatkannya dengan Semesta, dada Mentari tiba-tiba terasa sesak. Ternyata... secepat itu, ya? Apa yang ia miliki dulu, semua tiba-tiba berlalu dan berakhir hanya menjadi sebuah kenangan—yang amat mustahil untuk ia ulang kembali.

Seperti kejadian satu bulan lalu. Malam itu Mentari sengaja pergi menonton konser Aspire yang diadakan di kampus. Berbeda dengan dulu, di mana Mentari akan berdiri di barisan penonton paling depan. Lalu mendapat banyak senyuman dan tatapan penuh cinta dari Semesta di atas panggung. Sampai-sampai membuat penonton lain merasa iri. Malam itu, Mentari justru merasa sebaliknya. Ia hanya bisa melihat Semesta yang lihai dengan gitarnya di atas panggung dari tempat yang jauh. Tempat yang tidak akan bisa Semesta jangkau. Ya, Mentari memilih tempat paling belakang. Dari kejauhan Mentari memerhatikan Semesta dengan tatapan bangga. Bangga karena setelah semua yang terjadi, Semesta masih bisa melanjutkan hidupnya dengan baik.

Kenyataan itu cukup membuat Mentari merasa lega. Lantas, jika begitu, seharusnya Mentari juga melakukan hal yang sama, bukan? Hidupnya harus tetap berlanjut sekalipun banyak orang yang lebih senang melihatnya terpuruk. Mimpinya harus tetap terwujud sekalipun banyak rasa sakit yang beberapa kali berusaha membuatnya menyerah.

Mentari tersenyum kecut. Namun, bukankah semua rasa sakit ini memang harus ia terima sejak dulu? Satu tahun kemarin hanyalah sebagai pengulur waktu. Anggap saja Tuhan sedang berbaik hati ingin memberi bonus kebahagiaan padanya. Meski kenyataannya dalam satu tahun tersebut Mentari tidak pernah benar-benar bahagia. Mentari harus hidup berdampingan dengan perasaan bersalah yang tidak bisa ia ungkapkan. Malam-malam panjangnya hanya dipenuhi dengan segala hal buruk yang berebut masuk ke dalam kepala. Sama halnya seperti Semesta, semenjak kejadian kecelakaan mengenaskan malam itu, Mentari juga tidak pernah benar-benar bisa merasakan bahagia.

Di semester empat ini—setelah libur panjang selama dua bulan. Mentari sengaja mengambil kelas lain yang berbeda dengan kelas Semesta, Jemisha, Atlas dan juga teman-teman satu kelasnya yang dulu. Mentari lebih memilih menjadi orang asing untuk mereka. Menjauh dan tidak pernah saling bertegur sapa lagi. Bahkan hanya untuk sekedar saling tatap pun, hal itu tidak pernah terjadi. Sebab, Mentari rasa ini adalah pilihan yang terbaik. Selain agar dirinya bisa fokus belajar, Mentari juga sengaja memilih jalan ini untuk memberikan kenyamanan pada Semesta dan teman-temannya.

Satu kelas dengan anak pembunuh? Mungkin itulah yang terbesit dalam benak teman-teman kelasnya setelah semua kebenaran terungkap. Mentari takut mereka merasa tidak nyaman dan merasa hina karena harus satu kelas dengannya. Yang jelas di awal semester genap ini, Mentari ingin memulai kehidupan baru. Meski kadang kala ia masih mendapat beberapa bullyan dan cibiran dari teman satu kelasnya sekarang atau dari orang-orang random yang ia temui di kampus. Setidaknya, semua itu sudah tidak separah dulu. Perlahan, kini Mentari bisa kembali bangkit.

"Hari ini tiga kotak, Ma?" tanya Mentari pada sang Mama yang sedang membereskan meja dapur tempat membuat adonan kue.

"Iya, kamu nggak kerepotan bawanya?" tanya Kinan. Menatap Mentari yang tengah menenteng tiga kotak kue buatannya untuk dititipkan di toko kue dekat kampus. "Kalau kerepotan, biar nanti Mama kirim pake ojol aja."

Peluk untuk SemestaWhere stories live. Discover now