Bab 14: (Bukan) Damsel in Distress

6.3K 544 16
                                    

Lewat jam 12, ruang IGD akhirnya terasa lebih lowong. Drama-drama pasien sudah terlewati.

Sabila memutuskan untuk mampir ke kamar Renner. Berharap Renner belum tidur, ia ingin meminta maaf atas sikapnya yang kurang berterima kasih tadi.

Ia membuka pintu perlahan, lampu kamar masih menyala, Renner masih mencoret-coret buku TTS yang ia beri.

"Ren," sapanya.

"Dok." balas Renner.

"Sabila aja, besok juga udah pulang kan?"

"Iya tapi sementara masih jadi Dokter saya kan?" jawab Renner sambil tersenyum.

"Tapi ini sebagai Sabila. Saya mau minta maaf Ren. Kamu cuma mau bantu, tapi kok saya malah nggak terima." tuturnya lirih.

"Nggak apa-apa. Saya yakin teman-teman kamu juga akan bantu kalau saya nggak ada. Kamu cuma butuh minta tolong." jawab Renner.

"Saya kenapa ya, Ren?" Sabila menatapnya lekat, berusaha menahan air matanya lagi. Renner menatap kedua manik mata Sabila yang berdiri di ujung tempat tidur. Ada rasa takut, bingung, dan marah jadi satu.

Renner menarik nafasnya dalam-dalam, "Hal-hal kecil bisa jadi sangat menyeramkan dari perspektif yang berbeda."

"Sebenernya tadi itu kan ga bakal kenapa-kenapa ya? Kalau ada apa-apa juga bisa langsung teriak? Ada Ega di sebelah, ada Mas Pras, ada satpam juga di depan." suara Sabila agak serak sekarang.

"It's not about what happened, but it's about how it made you feel." jawab Renner. Ingin rasanya ia memberi pengertian lebih, tapi tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.

"IGD itu tempat yang aman buat kamu. Kamu selalu in control. Beberapa menit tadi, keadaannya berubah, kamu ngerasa nggak aman. Tapi udah ya, semua udah lewat. Kalo orang itu dateng lagi, kasih tau saya aja." lanjut Renner.

"Gitu ya? Udah enam tahun jadi dokter, lima tahun di IGD, belum pernah ngerasa gini." Sabila menggigit bibir bawahnya, mencoba mengontrol emosinya.

"Pertama kali saya nembakkin pistol, rasanya biasa aja. Emang tugas saya." tutur Renner tiba-tiba, "Kali kesepuluh, saya nembak pelaku buat nyelametin Paul. Pas kejadian, semua masih terasa biasa aja."

Renner terdiam sebentar sebelum melanjutkan, "Sampai rumah, tangan saya tremor sejam dan saya nggak tidur malam itu. Juga tiga malam berikutnya."

Sabila tertegun. Entah apa yang harus ia simpulkan dari cerita singkat tersebut. Ia mendudukkan dirinya di ujung tempat tidur.

"Sorry, Renner." hanya itu kata-kata yang ia bisa lontarkan.

"Malam keempat, saya minta tolong Syarla untuk bawa saya ke dokter."

Sabila menoleh ke arah Renner, tadinya ia menatap lantai.

"Sejak saat itu saya ke psikiater. Terutama kalau habis ada kasus yang mengharuskan saya pake senjata." lanjut Rener lagi.

"Jadi, habis ini juga?" tanya Sabila. Renner mengangguk.

"Nggak ada salahnya kan, minta tolong?" tanya Renner kali ini. "Tiap orang punya titik kesulitan masing-masing, tapi bukan berarti mereka lemah."

Sabila tersenyum tipis, "Bukan lemah yang menjadi masalah."

"Saya udah biasa hidup sendiri dan nggak mau ngerepotin orang lain. Mungkin karena tumbuh tanpa punya keluarga ya, jadi saya agak susah buat minta tolong." jelasnya kemudian.

Renner mengerenyitkan dahinya. "Loh, dua hari lalu berarti ada yang ngaku-ngaku jadi adik Dokter Sabila?"

Sabila menatapnya heran.

"Saya nggak sengaja ketemu seorang Nabila di lorong IGD waktu itu." jelas Renner.

"Oh. Nabila itu adik angkat. Orangtua Nabila sangat baik dan saya diadopsi waktu umur 14."

"Wah tim yatim juga ternyata. Sama dong." sahut Renner sambil tertawa kecil.

Sabila ikut tersenyum.

Akhirnya senyum juga. Batin Renner.

"Anyway, thanks ya, sekali lagi. Besok pagi saya cek buat persiapan discharge kamu. Akhirnya pulang kan? Seneng dong?" senyum Sabila.

Renner mengangguk, "Senenglah. Udah mau mati bosen disini."

Sabila tertawa pelan, kemudian pamit untuk kembali ke IGD.

Ketika Sabila memegang gagang pintu, "Sabila?" Renner memanggilnya.

"Ya, Ren?"

"Damsell in distress ngga nyelamatin nyawa orang. Dan kamu menyelamatkan nyawa saya di ruang operasi, kalo kamu lupa."

Sabila tak tahu harus menjawab apa, ia hanya mengangguk.

"Saya juga selalu inget sama semua orang yg udah nyelamatin nyawa saya. Ada 2 orang. Sekarang 3." lanjut Renner.

Sabila agak kaget mendengar ini. Berarti Renner udah hampir mati tiga kali?

"Ren.." lirihnya.

"Bantuin kamu tadi itu adalah hal paling minimal yg harus saya lakuin."

Two Worlds CollidingWhere stories live. Discover now