PROLOG

233K 16.9K 2.4K
                                    

Lalu, untuk apa hidup jika akhirnya kita tiada?
***

Setelah sekian lama, ternyata suasana di setiap pemakaman masih sama; sunyi, penuh dengan duka. Setelah sekian lama, ternyata tanya di kepala juga masih sama; untuk apa hidup jika akhirnya kita tiada?

Pertanyaan itu muncul dari balik kijing hitam papanya, mencekik dan membuat Langit tersiksa. Waktu yang berlalu membuat Langit ragu kalau papa masih di sana ... bahkan, jasadnya mungkin telah tiada. Tidak ada doa, karena tidak ada yang bisa kembali menghidupkan papa. Tidak ada pula kata, Langit memilih berteman dengan hening seraya memunguti kesedihan yang bercecer di sekitar kijing papa ... hingga lelah dan akhirnya ia menyerah.

Lalu, saat ia memilih pergi, pijaknya tiba-tiba henti dan tatapnya jatuh pada seorang gadis yang memasuki pemakaman dengan langkah pelan. Mata gadis itu kosong dan bibirnya begitu datar. Langit tahu gadis itu membawa kesedihan di antara buket krisan yang ia pegang.

Sejenak, Langit terpaku pada mata itu ... mata yang mampu membawa Langit kembali pada hari yang ingin ia lupakan; hari di mana papa dikuburkan.

Langit tidak menangis saat mendengar papanya tiada dalam kecelakaan kerja. Ia juga tidak menangis di sepanjang perjalanan menuju Jogja. Ia tahu papa di hadapannya, lelap di balik keranda. Ia bahkan masih tidak menangis di antara pelayat yang banjir dengan isak.

Namun, saat papanya yang dibalut kafan direbahkan di dalam lubang, ia baru merasa kehilangan. Seketika kesedihan tumpah di sekitar dan mencekiknya. Pada lemparan tanah pertama, perasaan itu menggerogotinya, menyisakan kosong yang menyiksa. Hingga akhirnya di gundukan tanah yang berselimut mawar dan tangisan itu, ia tidak lagi mampu merasakan apa-apa.

Papa benar-benar telah tiada.

Langit tidak bisa mencerna apa-apa. Tangis Mama dan suara orang-orang masih menari di kepala, sekeras apa pun Langit berusaha menyangkal segalanya. Bahkan, saat doa tak lagi menggema, dan pelayat mulai meninggalkan ia dan Mama, Langit masih tidak bisa melakukan apa-apa.

"Ayo pulang."

Suara Mama yang saat itu bergetar ternyata tak mampu menggerakkan kaki Langit. Ia ingin di sana, memastikan apa sakit yang ia rasa itu nyata.

"Aku mau ngobrol sama Papa."

Dan kalimat itu membuat tangis Mama kembali pecah, tapi dia melangkah pelan setelah memberi Langit satu pelukan kencang dan isak tertahan.

Ternyata, sendiri membuat kepala Langit semakin berisik. Banyak pertanyaan yang muncul, dan ia tau tak ada yang bisa menjawabnya; Kenapa sekarang? Kenapa harus Papa? Kenapa enggak aku?

Pertanyaan itu terus tengiang, hingga ia kepayahan dan kehilangan kekuatan. Ia berlutut dan memegang nisan kayu Papa dengan gemetar. Lalu, bayangan akan esok terasa begitu menakutkan. Tidak akan ada lagi tawa Papa saat bermain gitar, tidak akan ada lagi jemari yang mengusak rambutnya pelan, tidak akan ada lagi Papa di tiap esok milik Langit. Dan saat itu tiba-tiba saja kesepian mencabik seluruh tubuhnya hingga ia kesakitan.

Saat itu, sebuah senandung membuat Langit menoleh.

Itu kali pertama Langit melihat gadis itu menyanyi untuk nisan kelabu tak jauh darinya. Buket krisan di hadapan gadis itu terlihat begitu menyedihkan, tapi saat gadis itu mendongak dan mengunci Langit dalam mata yang berbingkai air mata, Langit tahu bahwa tidak hanya ia yang terluka.

Tahun berlalu, dan sekarang mata itu masih sama ... penuh luka, seperti saat terakhir Langit melihatnya, meski waktu telah banyak mengikis ingatannya.

[]

Author'st Note;

Hai, aku tau kalian bosan, tapi ... tunggu aku ya. Pelan-pelan, aku bakal selesaikan Langit pelan-pelan.

Pelan-pelan, aku bakal kembali meski harus pelan-pelan.

Untuk kalian, terima kasih masih bertahan di sini.

Lukisan Tentang LangitWhere stories live. Discover now