Permulaan

141 16 3
                                    

Vanesha mempercepat langkah kakinya saat ia sudah berhasil memasuki area kafe yang terkenal di sekitaran Qiezo ini. Kafe yang lebih sering dikunjungi oleh remaja seusianya dibandingkan dengan usia yang lainnya.

Keramaian akan pengunjung siswa siswi Qiezo di kafe ini membuat Vanesha harus menajamkan penglihatannya, mencoba mencari sosok lelaki menyebalkan yang seharian penuh mambuatnya tidak fokus pada pelajaran.

Pandangannya tertarik pada seorang lelaki yang duduk menyendiri di salah satu meja terpojok di sana. Lagi-lagi Vanesha menemukan cowok menyebalkan itu sedang memainkan sebuah ukulele hitam di tangannya.

"Ma--"

"Ketua osis kok telat?"

Baru satu kalimat yang lelaki itu ucapkan saja, seketika mampu membuat emosi Vanesha meningkat dengan cepat. Ia jadi menyesal ingin mengucapkan kata maaf pada lelaki itu. Sepertinya semua laki memang tidak pantas diberikan kata maaf.

"Ketua osis itu harusnya disiplin. Gimana sih," ucap Kevan tanpa mengalihkan pandangannya pada ukulele hitamnya.

Dengan perasaan kesal yang sudah menumpuk di dalam dadanya, Vanesha menarik bangku di hadapan Kevan dengan kasar dan mendudukkan diri di sana.

"Ketua osis itu sibuk. Jadi lo gak usah sok gaya bawa-bawa kata disiplin segala," ketus Vanesha.

"Waktu adalah uang, dan uang ga boleh dibuang-buang. Jadi, lo udah membuang-buang uang gue dengan mudahnya," ucap Kevan sambil meneguk minuman kaleng di atas meja hingga habis. "So, lo harus beliin gue satu minuman kaleng lagi."

Vanesha membulatkan matanya. "Lo kalo mau meres gue bilang aja, gak usah sok pake kata-kata mutiara segala!"

"Buruan. Gue haus."

"Lah apa-apaan lo? Siapa lo nyuruh-nyuruh gue? Gaada tuh sejarahnya orang berani nuntut gue, biasanya gue yang nuntut. Apalagi lo cowok."

"Hmm, bagaimana dengan kalimat andaikan kamu tahu Andra, bahwa sesungguhnya aku sangat mencintaimu se--"

"Fine."

Dengan terpaksa Vanesha bangkit berdiri dan berjalan menuju lemari penyimpanan minuman kaleng. Ia membuka pintu lemari itu dengan sedikit sentakan kasar yang membuat beberapa pelayan yang ada di sana melirik Vanesha.

"Maaf, mbak. Bukanya pelan-pelan ya."

"Eh?" Vanesha tersenyum kikuk dan mengangguk kecil. Ia lalu dengan cepat membayar minuman itu dan kembali berjalan menuju meja yang berisikan lelaki songong nan menyebalkan.

Vanesha meletakkan minuman kaleng itu di atas meja dengan bantingan. "Puas?"

Kevan membuka minuman itu dan meneguknya santai. "Biasa aja."

Vanesha menatap Kevan tidak percaya. Sepertinya dugaannya benar, semua lelaki di dunia ini memang tidak ada yang baik.

Ya, semua. Bahkan Ayahnya.

"Mana buku gue?!" Telak Vanesha langsung. Ia ingin segera cepat-cepat pergi dari tempat ini.

"Lah, siapa yang bilang gue bawa?"

Vanesha tidak tahan lagi dengan kalimat-kalimat menyebalkan yang keluar dari mulut lelaki songong di depannya ini. Tanpa sadar, ia memukul meja bulat di hadapannya dengan kencang.

"Aw!" Pekik Vanesha saat menyadari rasa sakit yang timbul di sebelah tangannya.

"Hahaha," Kevan tertawa iblis. "Mau sok galak, tapi gagal."

"Diem lo!" Vanesha melirik Kevan sinis. Kemudian ia beralih menatap telapak tangan kanannya yang memerah. "Anjir sakit."

Kevan merogoh saku celana abunya dan kemudian mengambil sapu tangan kecil dari dalam sana. Ia mengambil segelas minuman sisa dari meja kosong di sebelahnya dan mengambil satu es batu dari sana yang lalu ia masukkan ke dalam sapu tangannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 07, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KevaneshaWhere stories live. Discover now