Invalidite | 23

497K 44.2K 10K
                                    

Ada sebuah cerita yang mungkin memang harus terjaga, agar lukanya tidak kembali terbuka.

-Dewa Pradipta-

Akan selalu ada hal yang dirindukan, meski itu adalah sesuatu yang berusaha dilupakan. Terserah itu sesakit apa, ada bagian di dalamnya yang dinamakan kenangan. Meski melekat luka, namun itu hal paling mudah ditemukan dalam apungan ingatan.

Pelita menutup kotak kayu kosong yang sudah ia jadikan tabungan selama setahun belakangan itu. Menghela napas dan berdiam sesaat ketika menyadari hal yang sama terulang lagi. Ia mendongak, menatap ibunya yang tengah tersenyum melalui foto berbingkai hitam di seberang tempat tidur.

"Pagi, Bu." Sapanya, berusaha menarik sebuah senyuman. Bahkan walau itu hanya sebuah foto, tidak akan Pelita perlihatkan kesedihan untuk ibunya. "Pelita anak ibu yang kuat ini masih semangat kok. Jangan khawatir di sana ya,"

Ada suara batuk yang terdengar dari luar. Secepat yang ia bisa, Pelita meraih tongkat dan keluar dari kamar. Mendapati Burhan di depan TV tengah mengusap dadanya, tampak kelelahan.

"Ayah sakit?" Tanya Pelita. Tidak ada jawaban selain suara TV menyala mengabarkan cuaca. Burhan lalu menenggak air putih di atas meja.

"Ayah udah sarapan?" tanyanya lagi. Tidak berharap apapun selain karena Pelita yang memang mengkhawatikan Burhan. Ayahnya itu sering masuk angin karena tidur di ruang tamu. Setidaknya, Pelita harus memastikan perut ayah tidak boleh kosong.

Burhan, seperti biasa tidak langsung menjawab. Setelah batuknya reda, ia memandang Pelita agak sungkan. Namun hal yang luar biasa terjadi.

"Sudah."

Tanap sadar Pelita mencengkram pegangan tongkatnya kuat, tertegun beberapa saat. Ayahnya, yang selama ini lebih setia bergelung dalam selimut itu menjawab pertanyaanya. Terasa seperti mimpi yang sering ia dapati. Namun yang ini lebih nyata.

"Kamu sudah mau berangkat?"

Sudut matanya menggenang. Pelita tau jika mungkin akan sulit baginya mengumpulkan uang kembali. Tapi tidak peduli betapa susah itu ia mulai, dia justru sangat bahagia bisa mendengar suara Burhan lagi setelah sekian lama.

"I-ya, Yah." Pelita mendekat, meminta tangan Burhan. Laki-laki itu menyambut dan Pelita terlempar pada kenangan yang membuat air matanya jatuh membasahi tangan ayahnya.

Pelita tidak akan bertanya kemana uang tabungannya itu digunakan Burhan. Ia tidak akan mempermasalahkan. Seperti sebelumnya Pelita akan berpura-pura tidak tahu.

Kenyataan jika Burhan sudah mau bicara dengannya adalah sesuatu yang lebih berharga daripada uang tabungan untuk pengobatan kakinya.

***

"Maaf kalau memanggilmu mendadak untuk datang ke sini,"

"Engga masalah, Pak. Kelas saya belum dimulai."

"Bapak cukup merasa takjub sebenarnya. Soal Dewa. Bapak dapat laporan absensinya yang mengikuti ujian." Pak Brata memangku tangan di atas meja, terlihat penasaran. "Bagaimana bisa?"

"Oh, itu. Saya kasih jadwal ujiannya ke Dewa pak."

Pak Brata terkekeh geli. "Bapak mengerti itu, Pelita. Maksud bapak bagaimana caranya kamu bisa membuat Dewa datang ke kampus untuk ujian?"

"Oh, itu. Aku suruh janji buat bangun pagi, Pak. Jadi biar bisa ikut ujiannya gak telat. Hehe..."

Pak Brata mendorong kacamatanya naik, kembali terkekeh. Sepertinya, tanpa harus mendengarnya langsung dari Pelita pun, ia sudah bisa menebak apa yang terjadi. Kisah anak muda, pikirnya.

Invalidite [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang