Invalidite | 25

445K 42.6K 4.2K
                                    

Semua orang boleh bermimpi. Bahkan jika itu hanya sebatas angan memeluk bulan di sore hari.

- Pelita Senja -

Terdapat dua hal dalam sebuah ketegaran seseorang, rapuh dan juga harapan.

'Wajah' yang selama ini mewakili melawan dunia, bisa jadi hanyalah selapis topeng untuk menutupi kerapuhan itu. Atau bisa juga, perwujudan mengaminkan harapan yang diam-diam ada. Misalnya menganggap semuanya baik-baik saja.

Nyatanya, memakai topeng ketegaran adalah cara paling ampuh, bagimu yang mengerti jika dunia tidaklah seramah yang kamu inginkan.

Pelita sangat mengerti itu semua. Tepat ketika ia mendapat vonis dokter akan kelumpuhannya lalu berlanjut mendengar berita kematian Ibunya.

Namun saat ini, Pelita tidak bisa menutupi keresahan yang menyelimutinya. Mungkin ini boleh dikatakan pertama kalinya, bagi Pelita terjebak lamunan selama kelas berlangsung.

Pelita pun harus rela mengumpulkan lukisannya yang baru selesai setengah karena ujian sudah berakhir. Helaan napas yang menemaninya sejak tadi, menjadi bukti sekacau apa pikirannya sekarang.

"Ta... Pelita. Kamu gak papa?"

"Eh," Pelita tersadar. "Kenapa Bobby?"

"Kamu jadi banyak melamun. Gak biasanya aja. Kamu sakit?"

Pelita segera menyunggingkan senyum. "Engga dong. Alhamdulillah masih sehat... Hehe,"

"Gimana soal beasiswa? Ada kabar dari Pak Brata?"

"Ya ampun. Aku belum cerita ya?" Pelita tertawa. Ia kemudian menceritakan soal kebaikan hati Pak Brata yang bukan hanya membantu mencari informasi, tapi menyertakan surat rekomendasi di dalam amplop yang ia dapat tempo hari.

"Udah apply juga kemaren," Pelita menangkup kedua tangannya di dada. "Doain ya, semoga berjodoh."

Bobby terkekeh. "Pasti, Ta. Kamu saingan yang berat tau. Perlu usaha keras dulu buat ngalahin kamu,"

Pelita tertawa, Bobby berlanjut pergi karena kelas berikutnya tidak sama dengannya. Matanya masih mengikuti kepergian Bobby, ketika seseorang masuk dan menarik ujung matanya terbelalak.

"Loh, Gerka?"

"Hoi," Cowok itu membawa tas ransel berukuran lebih besar berisi peralatan pemotretan. Berjalan mendejat, tanpa terlihat membawa beban berat. "Udah selesai ujian lo?"

"Udah," Pelita tidak bisa menahan matanya untuk tidak melirik ke arah belakang Gerka. "Tumben kesini. Ada apa?"

"Gue cuma mau ngasih ini," cowok itu merogoh kantung celana dan mengeluarkan sebuah kalung berbandul kotak persegi. "Titipan Dewa. Buat lo katanya."

"Ini buat apa?" Tanya Pelita ketika dinginnya besi menyentuh telapak tangannya. "Dewanya mana?

"Dewa sama Rendi ke lokasi duluan bawa model yang lain. Gue bareng kru sama alat."

Pelita terdiam sembari menganggukkan kepalanya.

"Gini ya," Gerka bersidekap. "Gue mau tanya, karena rasa penasaran gue udah mentok ke ubun-ubun. Kok lo bisa gak ikut sesi final pemotretan ini, sih? Karena ada ujian?"

Pelita menyunggingkan senyumnya lalu mengangguk.

"Udah selesai kan? Ikut bareng gue deh nyusul mereka."

Pelita menggaruk dahinya yang tidak gatal. "Sebenernya bukan cuma karena ada ujian ini, Ger. Tapi karena Dewa emang gak mau aku ikut. Dia bilang gak ada pemotretan lagi buat aku."

Invalidite [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang