Sahabat Mata

3 0 0
                                    


Namanya Isbat, pemuda yang kurang dari seperempat abad hidup di dunia. Waktu dirinya lahir—hampir dilahirkan—orang-orang sibuk membicarakan namanya. Ibunya saja sampai tidak sadar air ketubannya pecah. Untunglah, dia berhasil lahir dengan normal dan menangis tidak lama setelah menjauh dari selangkangan ibunya.

Isbat, begitulah kakeknya menamakan. Bertepatan dengan tangisnya, orang-orang bersyukur mendapatkan kepastian. Sejak saat itu, Isbat tidak lagi dilupakan. Ia selalu diingat. Setidaknya setahun sekali karena kebetulan saja namanya "Isbat".

Selain itu tidak ada yang spesial. Ia hidup sebagaimana Anak Millenial: mempunyai serangkaian akun media sosial, merekam tiap momen dalam kehidupan, dan berujung sempoyongan pada rutinitasnya itu. Benar, Isbat tidak kuat dengan gaya hidupnya. Bapaknya di-PHK sepihak, kebon milik kakeknya di kampung hangus terbakar, lalu ibunya tidak pernah pulang sejak Isbat berusia lima tahun.

Isbat pernah bertanya kenapa ibunya pergi, kenapa ibunya tidak kembali. Tapi, tidak pernah ada yang memberi jawaban pasti selain karena Isbat atau untuk Isbat. Memori terakhirnya dengan sang ibu kadang terngiang dalam benak Isbat. Samar, karena Isbat mulai lupa wajah ibunya, bagaimana suaranya, apalagi kebiasaannya. Lalu Isbat tertawa miris.

"Karena Isbat. Untuk Isbat." Begitu kata Bapak.

Kiranya, terbayang "isbat" yang lain, yang terselip dalam ucapan bapaknya dan itulah yang membuatnya tertawa miris karena belakangan ia sering menertawakan namanya.

"Apalah arti sebuah nama?" tanya Isbat di hadapan cermin. Menggombali diri sendiri dengan menganalogikan sosoknya sebagai setangkai mawar, ia terkekeh. Katanya, mawar tetap harum meski namanya bukan mawar. Mau diberi nama Sahl pun dia bakal melarat seperti sekarang. Bakal luntang-lantung mengejar kawanan Millenial-nya.

Isbat tetap Isbat. Mau mengganti namanya sekalipun hidupnya tidak akan berubah. Ia tetap kelaparan. Jika bulan lalu ia bisa makan nasi dengan tahu, bulan ini tidak pakai tahu—cuma nasi. Besok, dia belum tahu. Keadaan bapaknya makin kritis saja. Popoknya lebih mahal dari makannya sehari. Sejak jatuh saat dengan dirinya di-PHK, mulut pria beruban itu miring melulu. Lama-lama yang lainnya ikut miring, ingatan, langkahnya, dan Bapak berujung terkulai di atas ranjang. Kalau tidak dipakaikan popok, kotorannya berceceran ke mana-mana. Busuknya sampai ke rumah tetangga, bikin mereka gedor-gedor gendang telinga Isbat dengan cibiran mereka.

Isbat cuma Isbat. Mau ganti jadi Mubarok, belum tentu ia diberkahi uang bergepok-gepok. Ia tetap menghibahi rumah demi rumah dan melempar segulung koran ke halaman depan, bantu ngangkut bahan bangunan, atau menemani wanita kesepian—seperti Maudy, misalnya.

Subuh itu, ia berjalan mengantongi tiga lembar uang seratus ribu. Selinting rokok terselip di antara bibir. Tangannya meraba kantong, mencari pemantik, lalu ia mendesah dan menyimpan linting rokok terakhirnya ke dalam kantong. Ia tendang kerikil sambil bersungut-sungut. Lalu tendang lagi kerikil yang sama. Lama-lama ia pun tersadar dan berhenti menendang kerikil itu, yang seukuran bola pingpong.

Isbat mengernyitkan dahi saat sudah selangkah dari kerikil itu. Ia berjongkok dan makin bertambah lipatan di dahinya. Ia sentuh kerikil itu, kenyal. Lalu digulingkannya dan...

"HAA!" Isbat terduduk dan mengesot mundur. Ia terkejut bukan main dengan keringat dingin mengucur. Halimun yang menyelimuti jalanan subuh itu seolah berbisik di antara desau angin.

"Mengapa takut, Isbat? Itu hanya mata bola."

Mata bola itu beriris biru. Bentuknya tetap utuh meski berulang kali ditendang, memantul, dan bergelinding di jalanan yang tak rata itu. Mata itu menatapnya. Lugu, tidak seperti mata Maudy yang penuh nafsu.

Kala ituHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin