Intai

1 0 0
                                    


Siang, seperti biasa. Gadis itu duduk di sebelahnya yang menyumbat rela sepasang lubang telinganya dengan sebuah earphone. Mata lelaki yang dibingkai dua lensa bening itu memerhatikan rentetan kata yang tercetak di atas lembar kertas menguning yang dipegangnya. Sedangkan gadis itu, seperti biasa, memerhatikan diam-diam sambil menggoyang-goyangkan kaki berlapis sepatu lari berwarna putih-biru.

Selalu begitu alurnya. Dia datang ke sana, menunggu bus sambil menggoyang-goyangkan kaki atau memainkan ponsel sedangkan ia dengan earphone atau buku di tangannya. Tak pernah terjadi percakapan dan ini sudah bulan ketiga mereka melakukan aktivitas yang sama. Rutin. Mereka bertemu di tempat itu setiap hari selasa. Hujan maupun terik, mereka selalu di sana. kebetulan atau tidak, entahlah.

Ketika bus tiba, mereka langsung naik bersama setelah penumpang yang ingin keluar menghilang dari hadapan. Lelaki itu masuk pertama, selalu begitu. Sedangkan gadis itu selalu membuntuti di belakang. Kadang gadis itu terpisah dari dia sampai lima orang saat masuk ke dalam. Namun, magisnya, selalu ada tempat kosong di samping lelaki itu. Selalu ada tempat khusus yang seakan-akan ada papan di sana dengan label namanya, Khaira.

Menit demi menit berlalu. Ia masih duduk di sana dengan aktivitas yang sama seperti di halte bus trans sebelumnya atau hari-hari lainnya. Ia hampir tidak pernah melakukan hal yang beda. Semua polanya selalu begitu. Ia akan turun di lima halte berikutnya dan meninggalkan Khaira di sana.

Mereka yang tidak lagi mengenakan seragam tak bisa menerka asal satu sama lain. Ini sudah tahun kedua bagi Khaira di universitas itu, entah untuk lelaki misterius yang selalu ditemuinya di tiap minggunya. Ia menerka mereka berasal dari satu universitas yang sama karena menunggu bus di halte yang letaknya tepat di depan rektorat universitasnya.

Dug!

Goncangan di dalam bus bukan hal yang jarang terjadi, tapi tak sengaja terdorong ke samping kanannya hingga bahu mereka bersentuhan dan saling tekan satu sama lain ... ini baru pertama kalinya.

Khaira buru-buru membuka mulutnya untuk bersuara, "Maaf, ehehe." Cengengesan kikuknya membuat pipi gadis itu memunculkan rona merah. Ia ingin memukul kepalanya karena kesempatan langka untuk berbicara dengan lelaki itu malah ia isi dengan tindakan konyol. Lain halnya dengan Khaira, lelaki itu bersikap biasa-biasa saja. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya, hanya sebuah anggukan sebagai gestur tak masalah.

Kembali lagi pada aktivitas mereka masing-masing. Degup jantung Khaira sungguh tak bisa diaturnya. Ia sesekali melirik samping kanannya. Ketika bus berhenti di tempat pemberhentian lelaki itu, jelas tampak kekecewaan di wajah Khaira.

Hari lainnya dan bumi diguyur hujan. Suara berisik air yang menghantam aspal dicampur dengan suara kendaraan yang berlalu lalang membuat Khaira menyesal dirinya tidak membawa earphone. Membicarakan tentang earphone, seharusnya lelaki misterius itu sudah tiba di sini lima menit yang lalu. Mungkin karena pengaruh hujan, ia jadi agak telat.

... dan, ya, tak lama setelahnya lelaki itu tiba di sana. Rambutnya basah, wajahnya juga. Kacamata dengan frame kotak itu tidak dipakainya. Entah dapat dapat darimana keberanian itu, Khaira menganggukan kepalanya sambil menyunggingkan senyuman. Lelaki itu mengangguk sebelum akhirnya duduk di samping Khaira.

Lima menit lamanya Khaira berkontemplasi sambil mengayunkan kaki. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk menyela bunyi hujan dengan pertanyaannya.

"Kau tidak kehujanan?" suara berat itu bukanlah milik Khaira. Lelaki asing yang basah kuyup itu lah yang memecah keheningan di antara keduanya.

"Eh, mm," Khaira menggaruk pipi, lalu cengengesan sendiri. "Begitulah." Gadis berambut hitam legam itu mengangkat bahunya. Ia kegirangan sendiri karena itu pertama kalinya ia mendengar suara lelaki itu. Namun, setelahnya hening kembali mengisi. Gendang telinga gadis itu hanya dipukul oleh suara hujan dan kendaraan yang berlalu lalang di sekitar. Sesekali, Khaira melirikkan matanya ke sebelah. Ia curi-curi kesempatan untuk memperhatikan pemuda itu dari dekat, melihat gurat pada dahinya, ataupun mata yang bergeming pada pijakan besi di halte itu.

Tatkala mulut pemuda itu hendak terbuka, Khaira langsung membuang pandangan. Benar saja dugaannya, pemuda itu bersuara lagi.

"Kau h-harus pulang," ucapnya, bergetar.

Khaira pikir, pemuda itu mungkin kedinginan karena hujan. Mungkin pula, kepalanya konslet diguyur hujan. Atau mungkin... pemuda itu hendak menggombal. Biasanya orang yang ingin menggombal begitu. Pertanyaannya datang tak diundang dan terdengar janggal, tapi tahu-tahu bisa bikin melayang setelah jawaban untuk tanya "Kenapa?" terdengar.

Dengan bayangan seperti itu, Khaira pun membalasnya dengan pertanyaan klise. "Kenapa?" ia kulum bibirnya, menahan agar senyumnya tidak tampak girang.

Berkebalikan dari Khaira, pemuda itu tak secuil pun memberikan ekspresi lebih dari ketegangan yang tampak pada rahangnya yang mengeras, maupun keseriusan dari geming matanya pada netra kelam milik Khaira.

"Kau tidak seharusnya di sini." Lalu pemuda itu mengulang pernyataannya sebelum itu dengan lebih tegas. "Kau harus pulang."

Khaira mengatupkan mulut. Ia menunduk dan memperhatikan kedua tungkai kakinya yang ia ayunkan—yang tak pernah sekalipun sampai menyentuh permukaan besi itu. Khaira tidak mampu mengingat kapan terakhir kali ujung kakinya menyentuh permukaan itu, terkena basah karena hujan, atau mengobrol dengan seseorang. Maka, betapa girang dirinya saat tahu pemuda itu bisa bersentuhan dengannya, bertukar tatap bahkan kata.

Khaira mengangkat pandangannya dan menoleh pada pemuda itu. Khaira berkata, "Semua akan baik-baik saja." Suaranya kalah keras dengan hujan, tapi gadis ini yakin pemuda itu bisa mendengarnya.

"Kita harus berpisah."

Atau tidak.

Khaira tidak tahu. Dirinya tak lagi bisa menyuarakan tanya. Bus dengan logo 2A berhenti di halte itu. Sang pemuda berdiri dan bergegas masuk, tapi tidak dengan Khaira. Gadis itu duduk bergeming di sana, memandang punggung sang pemuda yang meninggalkannya.

Petugasyang berdiri di pinggir pintu tidak mengindahkannya sebagaimana sang pemudayang duduk di kursi yang membelakanginya. Pintu bus trans itu pun tertutup. Begitu juga dengan salah satu kisah cintaKhaira, hantu di halte depan rektorat.    

Kala ituWhere stories live. Discover now