Prolog

348 27 9
                                    

welcome, grab some snacks and drinks, and enjoy your reading!

-


1 April 2015

Dua cangkir teh yang terletak di atas meja tidak lagi mengepulkan asap, pertanda bahwa teh itu setidaknya tidak panas lagi. Atau setidaknya, masih ada kehangatan yang tersisa. Sayangnya, atmosfer ruangan tersebut sama sekali tidak hangat.

Ruangan itu senyap, sampai-sampai yang bisa terdengar hanyalah bunyi mesin pendingin ruangan yang dinyalakan. Cahaya lampu yang temaram semakin menambah kesan kesunyian pada ruangan itu. Padahal, pada kenyataannya terdapat dua orang di dalam ruangan itu.

"Kau hanya bergurau, kan? Ini hanyalah tipuan april mop saja, aku benar, kan?" ucap pria itu lagi, dengan nada menuntut kebenaran pada seseorang yang duduk di hadapannya. 

"Tidak, aku bersungguh-sungguh, dan ini sudah keputusanku."

"Apakah tidak dapat dilanjutkan sama sekali?" tanya pria itu kepada wanita di hadapannya. 

"Ayahku orang yang keras, tidak dapat dibantah, dan aku sudah menyerah," ucap wanita itu lesu. Kantung matanya terlihat, menandakan bahwa ia sangat kekurangan istirahat.

Pria itu memandang wanita di depannya dengan tatapan berharap, namun wanita itu hanya menunduk menahan tangis. "Aku sungguh mencintaimu, Laurie. Tatap aku, kumohon ..." lirih pria itu. Mendengar itu, air mata wanita yang disebut Laurie tadi sukses membasahi kedua pipinya.

"Tolong, berhentilah memohon padaku. Aku bingung, aku– aku tak tau apa yang harus kulakukan. Kesehatan ayahku semakin memburuk, dan– dan jika aku tidak memenuhi keinginannya, aku takut ..." isak gadis itu. Dia berulang kali mengatur nafasnya yang sesak.

Beberapa menit mereka kembali lagi pada suasana hening. Tidak ada yang bersuara, dan mengatakan apa isi hatinya. Keduanya berada dalam pikirannya masing-masing. Memikirkan beragam kemungkinan yang akan terjadi, dan segala hal yang dapat mereka pikirkan.

"Itu artinya, kita telah selesai." Terdengar nada dingin pada ucapan pria tersebut. Mendengar itu, wanita itu terkaget dan langsung menatap pria itu. "Let's act like the word 'we' is never existed, Reynolds!" ucap pria itu lagi, dengan nada yang semakin dingin. Pria itu sudah memanggil nama belakang wanita itu, bukan lagi nama depannya seperti biasanya. Dan suhu di dalam apartemen itu terasa semakin dingin.

"Hans, kumohon, kita berpisah bukan berarti kita harus bertingkah seolah-olah kita tidak pernah saling mengenal," ucap wanita itu yang telah selesai menangis. 

"Aku sudah mengikuti keinginanmu untuk berpisah, dan sekarang aku ingin kau mengikuti keinginanku untuk kita saling tidak mengenal. Apa itu susah?" tanya pria itu.

Wanita itu berdiri dari kursinya, hendak pergi meninggalkan ruangan itu. "Baiklah jika itu maumu, senang bisa mengenalmu, Lancester!" Kursi yang tadinya ia duduki, ia mundurkan sehingga ia dapat meninggalkan tempat itu. Dia masuk ke dalam salah satu kamar di apartemen itu, mengemasi seluruh barangnya sendiri.

Setelah beberapa menit berkemas, ia membawa dua buah koper keluar dari kamar itu. "Terima kasih atas beberapa tahun ini, maaf jika kita harus berpisah," ucap wanita itu lagi. Pria itu tetap tidak bergeming, hanya menatap datar ke arah mata wanita tersebut. Saat wanita itu mulai beranjak meninggalkan apartemen itu, pria itu hendak bergerak mengikutinya.

"Tidak perlu mengantarku, sudah ada taksi yang menunggu di bawah. Selamat tinggal," ucap wanita itu kemudian membuka pintu dan menarik kedua kopernya. Sebelum ia menutup pintu itu, ia kembali berucap, "ada yang ingin kuberikan padamu, hanya saja belum waktunya, mungkin ada waktunya aku akan datang lagi dan mengembalikan hakmu, kuharap kau bersedia menunggu."

Tanpa menunggu respon dari pria itu, pintu itu tertutup. Meninggalkan pria bernama Hans tadi di dalam apartemennya, dikelilingi hawa dingin dan dua cangkir teh yang sudah dingin pula.


-

tbc

Healing (COMPLETED)Where stories live. Discover now