Chapter Zero

320 36 23
                                    

         "Kakak kenapa sih? Tiba-tiba minta pindah ke luar negri?" tanya Kenan dengan penuh kecurigaan saat mereka tengah menunggu koper.

Sedangkan lawan bicara nya memilih bungkam, sang putri enggan menjawab.

"Kakak ada masalah di sekolah?" timpal Taraga yang datang ke bandara untuk menjemput keluarga Kenan.

Ya mereka baru saja kembali dari mengantar Adevin, Teresa dan putra nya Karel, yang pindah selama setahun kedepan untuk urusan bisnis.

Taraga dan istrinya juga turut mengantar namun harus pulang lebih awal karena kedua putra nya masih sekolah dan harus diawasi penuh.

Jadi lah kini pria itu yang menjemput kedatangan keluarga Kenan.

"Atau kakak ada masalah sama-"

"Tar ...." tegur Tarina, mama Sharen yang baru saja bergabung.

Sebelumnya, Sharen meminta untuk ikut pindah ke luar negri karena ia ingin melarikan diri dari keadaan kemarin, namun akhirnya ia kembali merengek karena tak ingin tinggal di sana.

Alhasil, tepat di hari ke-7 ini, Sharen kembali memijakkan kakinya di daratan Indonesia bersama keluarganya.

"Ma, aku balik sama Marfel." ucap Sharen.

"Kakak minta Marfel jemput?" tanya sang mama.

Sharen mengangguk bersamaan dengan seorang remaja laki-laki yang mendekat ke arah mereka.

"Katanya mau keluar? Jadi keluarnya buat jemput kakak?" tanya Taraga yang mendapati salah satu putra nya tiba.

Marfel mengangguk singkat sebagai jawaban dari pertanyaan papanya. Dasar anak satu ini memang paling berbeda dari ketiga saudaranya.

Kembarannya, Rafel, suka sekali mencari perhatian dengan berulah.

Kakak sepupu tertuanya, Karel, sangat anti dengan aturan.

Dan satu-satunya saudara perempuannya, Sharen, beberapa waktu lalu dinyatakan drop out karena menjadi dalang perisakan.

Sedangkan dirinya, Marfel, terbilang anak yang paling cuek dan lebih dewasa untuk menilai keadaan.

"Langsung balik?" tanya Marfel pada Sharen.

Sharen mencebik, "Mau makan apa? Mampir dimanapun lo mau makan deh." bisik Sharen pada adik nya yang 'berbeda' itu.

Marfel kemudian tersenyum, "Yeu ... makan gratis aja lo nyengir. Gaga ... aku minta uang dong, mau traktir Marfel."

Dengan santainya Sharen menengadahkan tangan tepat di depan dada kembaran mamanya itu.

***

      "Demi apa lo mau sekolah di tempat gue?" Sharen membelalak saat Marfel baru saja mengatakan bahwa ia akan melanjutkan SMA di sekolah Sharen.

"Rafel udah daftar di SMA yang gue mau, yaudah gue daftar di sekolah lo aja. Sekalian jagain lo." tutur Marfel terkekeh sambil lalu mengunyah makanannya.

Sharen mendengus, "Tengil. Lagian kenapa sih Fel kalo Rafel juga daftar di SMA yang sama kaya lo, kan lebih enak, hemat uang bensin."

"Ogah. Childish banget anak kembar kemana-mana harus sama-sama."


Sharen tersenyum remeh.

"Kak." panggil Marfel sambil menunjuk kecil ke arah belakang Sharen dengan garpu yang ia pegang. "Dikta, kan?" ujar Marfel dengan kening berkerut.

          

Senyum Sharen secara perlahan memudar ketika ia menoleh.

Usai menghela nafas panjang, ia menghembuskannya penuh penekanan. Berharap seluruh kecamuk di ulu hatinya ikut terkuras, "Huuuft!"

"Dasar cowok. Pagi nembak, satu jam kemudian peluk orang lain. Janjinya mau nungguin, nyatanya, baru seminggu udah duduk sebelahan sama cewek lain lagi." seringai Sharen muncul sebagai pengganti senyumnya.

"Kayanya gue salah udah suka sama Dikta, Fel."

Sedangkan Marfel melanjutkan makannya tanpa berencana menanggapi kakak sepupunya itu.

"Bodoh banget gue, bisa-bisanya pernah jujur kalau gue suka sama dia, dan gue ngomong gue akan kasih dia kesempatan nunggu samp-"

Dugh

Sharen nyaris mengumpat saat kaki kursi yang ia duduki ditendang dengan sengaja.

Gadis itu sudah bersiap meluapkan emosinya, sedetik sebelum ia melihat siapa manusia yang berdiri di belakang kursinya.

Kemudian ia membelalak saat tatapannya terkunci pada sepasang manik mata yang menatapnya penuh arti.

"Hai." wajah datar itu tiba-tiba tersenyum disertai dengan sebuah lambaian kecil.

Hal itu membuat Sharen segera menoleh pada Marfel dengan tatapan seolah berkata 'Lo dari awal udah lihat Dikta berdiri di belakang gue?'

Marfel mengedik tak acuh, sambil lanjut mengunyah potongan daging bakar pesanannya.

"L-lo ... lo sengaja tendang kur-"

"Fel! Hai, masih ingat gue kan? Dikta. Gue duduk di sini ya Fel."

Tanpa menggubris Sharen, Dikta segera duduk di kursi sebelah Marfel yang mengangguk.

"Udah lama nih gak ketemu, apa kabar, Fel? Kembaran lo juga apa kabar?" ucap Dikta mendadak banyak bicara.

"Baik, bang." sahut Marfel.

Sharen memilih diam. Sebenarnya ia kesal. Tapi ia memilih diam.

Dikta yang ada di hadapannya sekarang benar-benar menyebalkan. Dimanakah sosok Dikta yang pendiam?

Laki-laki di depannya ini nyaris bukan Dikta. Ia terlalu banyak mengobrolkan omong kosong dengan Marfel, tetapi di beberapa kesempatan dengan sengaja ia melirik ke arah Sharen yang sudah mulai kalap.

"Eh Fel, nanti kalau udah mulai masuk sekolah, lo di rumah gue aja, masih ada kamar kosong kok." kali ini Dikta benar-benar menguji kesabaran Sharen.

Dengan terang-terangan ia bertopang dagu sambil menatap Sharen yang sudah memerah karena kesal.

"Mulai masuk sekol-"

Brak

***


         "Sharen!" panggil Dikta yang panik dan segera mengejar Sharen.

Setelah jengah melihat tingkah aneh Dikta, Sharen memilih meninggalkan sisa makannya, dan berjalan cepat keluar dari kafe.

"Apa lagi?!" tangannya yang dicengkram oleh Dikta segera ia hempaskan dengan kuat.

Tapi Dikta tak ingin lagi melakukan kesalahan, ia kembali meraih tangan Sharen dan membawa gadis itu masuk ke mobilnya.

"Gue capek, Ta. Sumpah. Terserah lo aja deh, lo mau gimana juga terserah." tutur Sharen pasrah begitu Dikta juga memasuki mobil.

"Lo gak salah kok. Sama sekali gak salah."

"Gue yang salah karena udah suka sama lo, dan di saat lo balas perasaan gue, gue malah ngulur keadaan. Gue mempersilahkan lo buat tunggu gue atau pergi.

"Akan egois banget kalo gue nuntut perasaan lo lagi sekarang. Gue udah liat cewek tadi kok."

Sharen tersenyum ketir dengan tatapan kosongnya, "Gak perduli mau seberapa cepat buat lo ngelupain gue, tapi sekarang adalah scene-nya lo, gue gak menuntut apapun soal itu."

Dengan suara bergetarnya Sharen berbicara pada Dikta, "Gue minta maaf buat keegoisan gue selama ini." 

"Sharen ...." Dikta tak bisa membiarkan gadis itu menangis karena ulahnya. Ini tidak benar, bukan seperti ini yang ia harapkan.

"Sama kaya waktu pertama kita ketemu, harusnya gue gak perlu kenal lo, Ta. Apalagi sampai nyeret lo masuk ke hal-hal buruk yang harusnya gak akan pernah lo dapat dari lingkungan lo sendiri-"

"Siapa bilang?" pungkas Dikta.

"Gak ada kata penyesalan karena aku kenal kamu selama ini. Semua yang kamu alami gak ada hubungannya sama perasaanku, Shar. Apapun itu aku gak perduli, karena aku suka kamu, bukan apa yang kamu alami."

Mendengar kalimat Dikta membuat Sharen menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Ntah tersipu atau malu setengah mati. Sekarang ia hanya ingin tertelan bumi secara misterius. "Rasanya gue gak pantas buat dengar pernyataan lo barusan, Ta."

"Kenapa?" tanya Dikta segera.

"Karena Sharen yang lalu, lagi? Karena kamu pernah di DO dan aku anak teladan? Karena kamu bandel dan aku anak mama? Karena kamu pernah nyaris dileceh-"

Dikta menjambak frustasi rambutnya sendiri. "Arrgh! Please ... itu gak penting, Sharen. Kamu harus tau, kamu itu seperti metronome di ruang belajarku yang sunyi.

"Kamu yang berisik tiba-tiba masuk ke hidup ku yang sepi. Dimana seharusnya aku risih karena gak bisa fokus berkat semua kelakuan kamu ... tapi kenyataannya aku nyaman.

"Dan kamu gak sebodoh itu 'kan buat gak ngerti arah pembicaraan ini?" tutur Dikta yang pada akhirnya sedikit mengulurkan tangannya. Mengunggu Sharen memberikan tangannya untuk ia genggam.

Hug!

Dikta mengulurkan tangan, dan Sharen membalasnya dengan pelukan.

Sejenak tak ada yang memiliki nyali untuk bersuara ataupun bergerak. Sampai Sharen menemukan keberaniannya lagi.

"Dikta." panggilnya

"Euhm?" deham Dikta dengan kedua tangannya yang mulai bergerak membalas pelukan Sharen.

"Kalo sekali lagi gue dikasih kesempatan buat jadi Sharen, gue janji akan jadi Sharen yang baik buat lo, Dikta Afrian Dratama." ujar Sharen yang menyembunyikan wajahnya di balik pundak Dikta.

Sekilas terdengar kekehan Dikta yang diikuti oleh serentetan anggukan.

"Dan gue harap, lo masih mau ketemu Sharen di kehidupan yang lain."

Chup~

Sebuah kecupan mendarat di puncak kepala Sharen. "Dengan senang hati." ujar Dikta.

***
Sorry guys lama up BonChap nya😂
Sebenernya aku lagi nyiapin work baru, tapi masih ngadat. Dan ternyata udah lumayan banyak yang nanyain ekstra part, jadi aku bikinin deh✨

Maaf telat yak💃
Dengkiu banget buat yang udah support METRONOME sampe akhir🧡




08/01/2021
09:50 PM

METRONOME [SELESAI]✅Where stories live. Discover now