Januari 11

45 10 0
                                    

Tidak ada lagi bahasan hingga keduanya berakhir sama-sama diam. Igta hanya pamit kembali ke kelasnya dan Janu yang masih diam di tempat.

Jamu sendiri tidak banyak berekspektasi akan jawaban dari pertanyaannya tadi. Hanya saja, rasanya susah sekedar untuk membuat semuanya berjalan dengan pasti. Janu sadar, kok. Kalau selama ini Igta belum memiliki rasa apa-apa padanya. Sadar, kalau semua bentuk perhatian yang gadis itu berikan hanya sekedar balas budi saja.

Tapi sungguh, Janu ingin egois. Sekali ini saja. Sekali ini saja, ia ingin gadis itu jatuh, mencintainya. Sama seperti yang ia rasakan sekarang. Janu ingin Igta juga sama-sama berdebar saat mata mereka bersitatap. Ia ingin Igta tersenyum, saat ia juga tersenyum. Tapi sepertinya tidak bisa.

Hingga panggilan di ponsel mengalihkan semua atensi Janu. Ia menatap ponselnya malas, Ajun pasti menyuruhnya kembali. Padahal ia berniat membolos. Tidak ada gunanya belajar ketika pikirannya bercabang ke mana-mana.

"Di mana, anjir?" Suara Ajun menyahut di seberang sana.

"UKS."

"Balik lah, kita ada tugas kelompok."

"Males, Jun. Eh, tapi, lima menit, deh. Lima menit. Gue balik lima menit lagi."

Setelah itu, sambungan telepon mereka mati.

Dan yang harus Janu lakukan sekarang hanyalah, menata ekspresi. Tersenyum, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Dan tersenyum, seperti orang yang tidak pernah punya masalah. Padahal ia hidup saja sudah menjadi sumber masalah. Dasar.

✴✴✴

Pulang sekolah, seperti biasa, Janu mengantar Igta pulang. Namun sepertinya gadis itu tak ingin cepat pulang. Pertanyaan Janu tadi siang, selalu berputar di kepalanya. Memaksa ia untuk berpikir keras. Haruskah menjawab semuanya sekarang?

Setidaknya Igta harus jujur, bahwa ia memang telah jatuh pada pesona Janu. Tapi tak bisa janji, untuk bisa mencintainya sebagaimana perasaan yang cowok itu punya.

"Mampir tempat biasa, kan?" Janu bertanya saat lampu merah menyala.

"Oh, iya."

Hanya butuh waktu lima menit, mereka sampai di tempat tujuan. Kedai kopi yang juga menyediakan es krim kesukaan Igta, juga kopi kesukaan Janu. Mereka bertemu untuk yang kedua kalinya di tempat ini. Januari tersenyum, tempat ini tempat bersejarah bagi hidupnya. Tempat di mana ia berani menyatakan perasaan untuk kali pertama. Tempat yang membuat ia jatuh begitu dalam, pada pesona Nigta Fira Januari yang saat itu tak banyak melakukan apa-apa.

"Ayo." Tanpa permisi, Janu menyelipkan jemarinya di antara jari-jari Igta. Lalu tersenyum seakan menunjukkan pada dunia, inilah gadisnya.

Igta juga ikut tersenyum, karena ia sendiri tidak berbohong. Rasanya hangat. Hangat yang membuatnya begitu nyaman.

"Es krim cokelat vanila ditambah butiran kismis di atasnya. Kesukaanmu, kan?" Igta mengangguk sembari tersenyum senang.

Janu memang tak pernah tidak bisa membuatnya tersenyum. Setidaknya kali ini senyumnya tulus, untuk laki-laki itu.

Sembari menunggu Janu selesai memesan, Igta mencari tempat duduk yang nyaman. Selain karena kedai yang lumayan ramai, tempat ini juga sedikit sempit. Ia harus pintar-pintar mencari tempat duduk yang aman dan nyaman untuk mereka tempati.

"How's your day?" Janu bertanya, setelah ia selesai duduk dan berbenah diri.

"Seperti biasa. Capek belajar, tugas banyak, dan oleh-oleh juga banyak. PR sejarah apalagi."

Janu tersenyum. Lagi dan lagi, mendengar Igta bercerita adalah hal yang paling ia suka. Ia suka melihat gadis itu dengan segala ekspresinya ketika sedang bercerita.

"Lalu kamu, gimana harimu?"

"Hmm, not bad. Setidaknya masih ada kamu di sini, dan semuanya berlalu nggak seburuk yang aku kira."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


110521

Kutitipkan Januari PadamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang