Selepas Igta pulang, Januari tetap berdiam diri di ruang tamu. Sekadar mengamati lamat-lamat seisi rumah ini dari sini. Tak banyak yang berubah sejak Ibu pergi tak tahu ke mana. Semua masih sama seperti yang terlihat empat tahun lalu. Yang berbeda hanyalah suasananya.
Kini semua terasa sepi. Tak ada yang bisa Janu rasakan selain hampa. Tak ada lagi hangat yang dulu menjalar ke seluruh ruangan. Tak ada lagi rumah yang penuh dengan obrolan serta canda tawa. Semuanya sirna hanya dalam waktu satu malam.
Janu lupa, hari itu hari apa. Tapi yang jelas, semuanya hilang dalam sekejab mata di hari itu. Benar-benar hilang, tak berbekas. Padahal malamnya, mereka masih baik-baik saja. Tidak, bukan mereka. Lebih tepatnya Janu dan Ibu. Mereka berdua masih bersenda gurau. Menikmati secangkir teh hangat di malam hari sebelum beranjak tidur.
Namun saat membuka mata usai lelap dalam tidurnya, semua hilang. Janu kehilangan semuanya. Ibu yang sampai detik ini tiada kabar. Rumah yang semula hangat menjadi begitu dingin. Ayah yang memang dari awal jarang pulang, semakin jarang pulang. Dan yang paling membuat luka adalah, ayahnya yang selalu pulang membawa wanita yang berbeda.
Jika ditanya dari mana semua luka Janu berasal, dari situ jawabannya. Semuanya berawal di hari itu dan berlangsung hingga detik ini.
Seandainya Janu tak bertemu Ajun dan Igta mungkin sudah lama ia mati bersimbah darah di dalam kamar mandi. Seandainya mereka berdua malah memilih pergi dan tak bertahan di sisinya pun mungkin Janu akan bernasib sama. Mati dalam kesendirian.
Tapi sekarang, semuanya terlihat jauh lebih mudah karena ada mereka berdua. Meskipun Janu tetap suka membuat luka, suka sekali ketika bagian tubuhnya terluka. Atau tergores barang sedikit saja, ini semua jauh lebih baik dibandingkan ia empat tahun yang lalu.
Janu yang tak tahu dan mengerti apa-apa dipaksa keadaan untuk tetap bisa bertahan hidup dengan uang seadanya. Untung saja setelah itu, ayah tetap memberinya uang bulanan yang jumlahnya cukup besar, jadi Janu bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Oh, iya. Tentang Cafe yang sering ia ceritakan. Itu sebenarnya adalah usaha milik ibunya. Setelah Ibu pergi entah ke mana, yang tersisa hanyalah sebuah surat dan cafe itu. Ibu meminta Janu untuk bisa mengurusnya beberapa tahun kemudian sementara saat itu dipegang oleh orang kepercayaannya.
Empat bulan yang lalu, orang itu meninggal dunia. Dan Janu mau tak mau harus tetap berpegang pada perintah Ibu di surat itu. Beginilah sekarang, cafe itu ia pegang dibantu Ajun untuk mengelolanya.
"Nu, gue bawain makanan ini. Gue siapin dulu, lo tinggal makan." Ajun tiba-tiba datang dan main masuk begitu saja. Lalu melangkah tergesa-gesa ke dapur. Menyiapkan segala keperluan makan malam mereka.
Jika dipikir-pikir, Ajun lebih mirip ibunya dibanding sahabatnya. Betapa bersyukurnya Janu memiliki Ajun di hidupnya yang tak jelas ini. Ditambah Igta yang selalu ada di sisinya meski dalam keadaan terpaksa, rasa-rasanya Janu menjadi orang yang paling beruntung sedunia. Padahal sebenarnya tidak.
"Lo mau makan di sana apa ke sini, Nu?" Janu tidak menjawab, ia hanya bangkit lalu melangkah perlahan menuju dapur.
Langkahnya tak seimbang, berkali-kali Janu hampir jatuh karenanya. Memang, sejak kecelakaan beberapa hari yang lalu, Janu merasa ada yang tak beres dari tubuhnya.
"Nu ... lo nggak papa?" kata Ajun setengah berteriak.
15*12*21
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutitipkan Januari Padamu
Teen FictionFiksi Mini #1 "Kalau bukan ke kamu, aku pulang ke siapa?" Januar Januari. "Kamu nggak capek pulang selalu bawa luka kayak gini?" Nigta Fira Januari. Kamu selalu bilang, kalau hanya aku tempat kamu pulang. Tapi kenapa sekarang kamu nggak pulang-pul...