Chapter 1 : Destiny Line

140 27 6
                                    

Sehan menghampiri Ken dan Leo yang lagi nongkrong ganteng di salah satu cofeeshop andalah mereka. Ken yang melihatnya duluan pun melambaikan tangannya tinggi-tinggi sembari tersenyum lebar. Sehan hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah kocak sahabatnya itu.

"Ini dia bontot kita sudah datang."

Sehan cuma ketawa denger omongan konyol Ken. "Whatsup! Bang, gue lagi bosen di Jakarta nih."

"Yauda si, hari ini mau makan siang di Singapura? Gue ada resto reccomended banget." Sahut Leo enteng. "Apa tar malem kita ke Beijing, ada pesta kembang api di sono."

Ken yang melongo. "Busett Han, dikira Beijing tuh Kampung Rambutan apa yak. Enteng bet ngomongnya."

Sehan langsung ngakak denger Ken nyerocos. "Gak gitu juga kali Bang Le."

"Bisa jantungan gue denger Bang Leo ngomong. Sumpah dah. Nonton kembang api ngapa susah susah ke Beijing, disini aja bisa loh. Lo tinggal kasih gue duit bejibun gue jabanin dah nyalain kembang api disini Bang."

"Ken, yang namanya anak tunggal kaya raya tuh begitu. Pusing duit gue kok gak abis-abis."

"Kampret emang abang kita satu ini Han."

"Tapi gue juga pusing si, dikirimin duit terus sama keluarga. Jatah jajan gitu."

Ken udah gak bisa nyahut lagi. "Ngadepin rang kaya kek kalian berdua pusing gue."

"Eh btw lo diundang ke nikahan Kristi gak Ken?"

"Napa bawa-bawa mantan si, ganti topik ganti topik. Buset dah gini amat idup gue."  Potong Ken cepat. "Han lo udah punya cewek belum?"

Sehan langsung makan kentang goreng punya Leo. "Ganti topik, sepet tuh cerita."

Ken ngakak paling kenceng. "Han tenang, ada yang lebih sepet, korban friendzone gitu."

Leo melempar sebatang kentang goreng ke Ken. "Asem."

Mereka bertiga menertawakan kisah masing-masing yang sepertinya cocok dijadikan sinetron televisi. Tiba-tiba suasana jadi hening saat seorang gadis muda datang menghampiri Ken. Gadis itu nampak ragu namun ia tetap memberanikan dirinya.

"Mas, saya hamil."

Leo kaget seketika sampai-sampai minuman yang di mulutnya tersembur ke wajah Sehan. Sehan hanya melongo, pertama karena kaget Ken hamilin anak orang, kedua karena Leo menyemburnya. Jangan tanya Ken, dia mematung shock campur raut bingung setengah mati. 

"Ken, lu apain anak orang Ken. Duh gusti...., mbak kalo dia gak mau tanggung jawab ngomong sama saya mbak. Biar saya kasih perhitungan sama ni anak. Udah berapa bulan mbak ?"

Gadis itu baru saja mau menjawab tetapi dipotong cepat oleh Ken. "Bang, kenal aja engga Bang." Ken menatap gadis itu dan Leo bergantian. "Sumpah."

"Bang Ken, beneran lu?"

"Han, lo tau kan. Gue abis putus sama Gea aja masih belum bisa moveon. Yakali gue hamilin anak orang."

Gadis itu hendak memotong pembicaraan tapi selalu kalah dengan sahutan Leo kali ini.

"Ken, tapi dia bilang hamil Ken. Lu pernah mabok kali. Astaga Ken, lu main kemana aja sih?"

"Gue gak kenal dia Bang. Sumpah dah."

"Enggak gitu mas semua. Maksud saya itu saya lagi hamil. Bisa tolong matiin rokoknya?" Kata gadis itu melerai perdebatan mereka bertiga. "Maaf sebelumnya,saya juga bukan hamil anaknya mas yang manis ini, saya udah punya suami mas. Hehe..."

Ken mengelus dadanya. "Mbak harusnya ngomong dari awal masalah rokok. Saya bisa jantungan kalo begini. Tapi maaf ya mbak, ini saya matiin rokoknya. Maaf banget mbak." 

"Iya mas, maaf bikin ribut juga. Makasih ya, saya permisi masnya semua."

"Iya mbak. Mari." Jawab Sehan.

"Gue pikir lu hamilin anak orang beneran Ken. Gue sate lu yak macem-macem gitu. Inget kita masih tinggal di Indonesia, dimana mulut tetangga lebih pedes dari cabe setan. Bisa kena mental bini lu tar." Leo kembali minum.

"Enggaklah bang, gue masih punya pikiran buat jaga perempuan. Yakali gue berbuat sejauh itu."

Leo kini menatap Sehan. "Ini berlaku juga buat lu Han. Jangan sekali-kali bikin hamil anak orang di luar nikah."

"Jangankan hamilin anak orang, cewek aja dia gak punya bang." Celetuk Ken.

"Iya bang. Gue juga paham kok."

***

Libur panjang tepatnya setelah UAS berakhir telah tiba. Sehan beneran bosen di Jakarta. Iseng-iseng dia booking tiket ke Yogjakarta. Jelas tanpa sepengetahuan siapapun di rumah.

Sehan pilih naik kereta, dimana dia bookingnya tiket dengan jam keberangkatan dini hari. Dia juga gak bawa barang banyak, cuma ransel yang berisi jaket, dompet, kamera, dan smartphone. Untuk keperluan lain bisalah beli di sana. Selama ada atm dan smartphone semua aman terkendali.

Pas lewat konter pemesanan tiket, niat awalnya Sehan mau cetak tiket, tapi gak sengaja denger percakapan seseorang dengan petugas loket. Suara itu mengingatkan Sehan pada seseorang.

"Tiket untuk keberangkatan langsung udah soldout kak. Ada lagi nanti jam 6 pagi kak."

"Pak tolongin saya, berdiri juga gakpapa Pak. Yang penting saya sampe Yogya pagi ini." Pinta gadis itu dengan suara tertahan. 

"Gak bisa kak. Itu menyalahi aturan. Atau mungkin nanti kalau ada yang cancel saya hubungi kakak. Bisa ditinggalkan nomor teleponnya."

Gadis itu menuliskan nomornya cepat. "Tolong ya pak. Makasih sebelumnya."

"Sama-sama kak."

Gadis itu berjalan ke ruang tunggu. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan pasrah. Berulang kali ia melihat ponselnya kemudian mengusap pipinya. Sehan mendekat, dia benar. Suara itu milik gadis yang ia tunggu beberapa hari ini.

"Je?" Tanya Sehan hati-hati. "Is that you, Javiera?"

Gadis itu menoleh, tatapannya sayu. "Iya."

"Lo bisa berangkat pake tiket gue."

"Tapi lo gimana?" Air matanya jatuh tapi Je tetap memasang wajah seolah itu bukan apa-apa. "Tapi gue butuh banget."

Sehan tersenyum, "Tenang. Gue ada 2 tiket. Kita bisa bareng sampe ke Yogya."

Mendengar itu, tangis Je pecah. Gadis itu terisak dalam diam, seolah pita suaranya menghilang. Air matanya jatuh tak terbendung. Sehan makin dibuat bingung, alhasil satu-satunya cara yang terlintas di pikiran Sehan adalah menepuk bahunya.

Ingin rasanya Sehan memeluknya dan menenangkannya. Tapi Sehan sadar kalau ia bukan siapa-siapa. Ada batasan di situ.

"Jangan nangis."

Sehan gak tau apa yang terjadi sekarang. Cuma setelah pertemuan pertama mereka, berada di dekat gadis itu membuat dirinya tenang. Melihatnya menangis membuat tubuh Sehan seakan ingin terus melindunginya. Tidak ada kupu-kupu yang berterbangan di perutnya, yang ada hanya rasa hangat dan nyaman.

"Semua mungkin sulit sekarang, tapi sehabis sulit selalu ada mudah. Everything will be fine."

Je meraih tangan Sehan kemudian menggenggamnya erat. "Makasih banget ya. Gue gak tau bakal gimana tanpa lo sekarang."

Sehan hanya bisa mengangguk. Melihat Je yang mulai membaik sudah terasa cukup. Tentu ia bahagia bisa bertemu dengan Je lagi. Meskipun momennya begini. Tapi Sehan tetap bersyukur. Kata orang garis takdir sudah ditentukan sejak kita lahir ke dunia. Sekarang Sehan percaya itu, pertemuan ini bukan sebuah kebetulan. Ini adalah takdir.

BUANAWhere stories live. Discover now