Chapter 6 : Jogging

49 13 0
                                    

06.30 WIB

Sehan dan Ken sudah berada di kawasan GBK untuk lari pagi. Jika bukan karena Sehan yang memaksa bangun, Ken pasti masih meringkuk di bawah selimut hangat yang baru dicuci itu. Realitanya, buruk. Sekarang Ken harus harus mengikuti Sehan melakukan pemanasan sebelum memulai lari pagi di suhu yang lumayan dingin.

Sehan menghirup udara pagi dalam-dalam. Bibirnya tersenyum mengingat pagi tadi ia baru saja mendapat pesan dari Je bahwa Sabtu besok gadis itu akan tiba di Jakarta. 

"Cuacanya cerah ya, Ken."

Ken menatap Sehan aneh degan kedua alis yang hampir tertaut. "Orang mendung begini, mana cerahnya, ege?"

Sehan cuma membalas dengan senyuman yang mengisi penuh wajahnya.

"Lu abis kena apa dah? Kaga ada angin topan perasaan. Aneh lu."

Sehan masih setia dengan senyuman di wajahnya, seolah itu adalah hal yang tidak bisa ditahan. Dia menepuk bahu Ken keras. "Let's go!"

Ken cuma bisa geleng-geleng kepala. "Wah gila ni bocah."

Mereka berdua awalnya berjalan santai beriringan. Hingga tiba-tiba saja hal itu berubah menjadi ajang kompetisi adu kecepatan. Tidak ada yang mau kalah, mereka saling adu stamina dan kecepatan. Hingga tak terasa mereka sudah berkeliling sebanyak tujuh putaran tanpa henti.

Ken memegang lututnya yang mendadak lemas, masih dengan napas yang hampir putus. "Gu.. gue... nye... nyerah.... Hah... Hah..."

Sehan juga ngos-ngosan, tapi raut wajahnya masih merah cerah seperti mendapat hadiah dua milyar. "Seru kan. Hah..Hah.."

"Seru pala lu." Ken meluruskan kakinya perlahan -maklum remaja jompo. 

Sehan ikut mendekat dan langsung berbaring di samping Ken tanpa peduli kalau pakaiannya akan kotor. Matanya menatap langit yang masih tergambar cerah baginya- (aslinya masih mendung). 

"Sarapan apa ya kita? Ada ide gak?"

"Mana aja dah. Gue juga laper akut nih." Jawab Ken yang masih mengatur pernapasannya. "Eh tapi jangan bubur deh."

"Okee bubur."

"Si kampret satu ini."

"Ehe. Fix bubur no debat."

Mau tidak mau akhirnya mereka berdua kini telah duduk di samping gerobak bubur ayam yang mangkal di dekat area GBK. Ken yang tadinya malas makan bubur kini malah makan paling lahab. Sehan udah hafal betul sih dengan kelakuan Ken yang seperti ini.

"Bang nambah satu porsi lagi tapi dibungkus ya." 

"Buat siapa?" Sehan menatap Ken penuh curiga.

"Guelah."

"Perut karet lu."

"Bodo."

"Dasar. Bang bungkus satu lagi."

"Yee dasar manusia."

"Bodo amat."

"Sama aja."

"Gerimis, Ken."

"Yakan dari tadi mendung, ege. Herman gue." Ken sewot 1000%.

"Waduh makin deres lagi." Sehan mempercepat makannya.

Setelah makan dan pesanan tambahan mereka berdua selesai, Ken yang membayar tagihannya. Meskipun Ken tidak sekaya Leo, dia adalah tipe yang royal untuk adiknya. Mereka berdua langsung berlari ke arah parkiran mobil menembus hujan yang lumayan deras.

"Lari dari gerobak ke mobil, perut gue langsung laper lagi masa."

"Sama."

Keduanya terbahak dan kembali memakan bubur yang tadi dibungkus. Perut mereka seperti karet yang bisa melar menyesuaikan isinya. Namun tiba-tiba Sehan berhenti menyendok kala menatap layar ponselnya yang menyala.

"Kenapa lu?" Tanya Ken sekenanya.

"Ken, cara deketin cewek itu gimana sih?" Tanya Sehan balik.

"Ya tinggal deketin sih." Ken masih belum sadar, dia masih asik menyuap buburnya sendok demi sendok.

"Maksud gue, deketin karena gue naksir, Ken." 

"Oh naksir." Ken mulai merasa ada kejanggalan dari kalimatnya barusan. "NAKSIR APAA?!"

"Naksir siapa kali?" Timpal Sehan santai.

"IYA SIAPA ORANGNYA YANG BERHASIL GOYAHIN GUNUNG ES LUUU?! SEBUTIN SEKARANG! SIAPAA?" Kata Ken dengan penuh semangat sampai-sampai bubur yang di mulutnya muncrat beberapa.

"Ada." Jawab Sehan malu-malu. "Dia tuh beda pokoknya."

Ken menatap Sehan serius. "Ini bukan makhluk 2D atau 3D, kan?"

"Bukanlah. Ngaco." Jawab Sehan ketus.

"Oh aman berarti. Ketemu dimana?"

"Di cafe. Di stasiun. Di Yogja."

"Lah itu lu udah sering jalan bareng kan, sampe Yogja malah. Terus mau deketin apa lagi?" Tanya Ken selaku mentor Sehan.

"Dia tipe yang batesin diri dari orang lain. Malah gue ngerasa kalo dia cuma nganggep gue temen." Jawab Sehan lesu.

Ken berpikir sejenak, meskipun dia jarang menggunakan otaknya tapi masih berfungsi. "Susah sih, orang tipe begitu musti serba ekstra."

"Makanya."

"Kalo lo ngaku sekarang dan dia belum siap, bisa jadi dia bakal ngejauh." Ken sudah melupakan buburnya. "Tapi kalo lo gak ngaku-ngaku soal perasaan lu, bisa jadi dia diembat orang lain."

"Terus gue musti gimana Ken?"

"Kalo saran dari gue jangan ngaku dulu, lu coba cari tau dulu karakter dia gimana. Kalo lo udah yakin bisa dapetin dia, lu langsung tembak."

"Oh gitu ya."

"Iya. Tapi lu juga harus siap kalo dia bakal ngejauhin lu saat itu juga."

"Kok gitu?"

"Ya mana ada orang temenan abis ditolak? Pihak yang ditolak ini apa gak sakit hati tiap ketemu? Terus pihak yang nolak ini juga pasti bakal ngerasa gak enaklah."

Sehan langsung lemas. Gairah memakan buburnya hilang seketika. 

"Lemes amat?"

"Gue berasa ditolak saat ini juga."

"Sabar ya..." Kata Ken sembari menepuk kencang punggung Sehan.

"Sakit ege!"

"Semangat dong. Harus optimis, masku."

Sehan tak bergeming. "Kenyang gue."

"Btw namanya siapa?"

"Je."

"J doang? Yang bener lu? Ini manusia asli bukan?"

"Jeviera, biasa dipanggil Je."

"Oh anak fakultas sebelah? Yang pinter debat itu ya? Dia sering menang lomba debat tuh."

Sehan mengernyit. "Kok lu tau?"

"Dia terkenal banget di anak-anak olimpiade. Tapi emang sih, anak olimpiade tenarnya pasti kalah sama geng anak sosialita yang modis kece badai."

"Kok gue gak tau?"

"Yah makanya kenalan ama yang lain. Lu abis kelas kalo gak sama kita-kita ya pasti cabut. Gimana mau tau."

Sehan cuma diam. Betul sih yang diomongin Ken. "Langsung gue ajak jalan kali ya."

"Jangan!"

"Terus?"

"Bikin alur cerita yang halus dong. Masa tetiba ngajak jalan." Ken dengan kesoktauannya. "Pertama-tama hal yang harus lu lakuin itu...

...

...

...-"

"-apaan anjir."

"Bikin pertemuan yang sering tapi keliatan alami."

"Bikin pertemuan yang sering tapi keliatan alami? Caranya?"

"Lu gabung ekskul debat."

Gila.

BUANAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant