TIRI

44 5 0
                                    

Menunggu itu tidak menyenangkan dan aku sangat setuju akan itu. Melihat kakiku dengan kaos kaki rumbai berwarna putih, sepatu yang kukenakan sedikit lebih sesak daripada yang dulu pernah aku rasakan, kutebak kakiku membesar sama seperti tubuhku yang makin terasa berat. Tidak masalah karena ini menandakan aku akan baik-baik saja berpuluh tahun ke depan. Duduk di bawah pohon besar yang cukup rindang, terlindung dari matahari sore pukul empat, angin yang berembus harum seperti rumput basah yang baru saja disemangi. Tidak masalah kalau memang aku harus menunggu walaupun tidak begitu suka menunggu. Siapa manusia di dunia ini yang menyukai menunggu?

Genggamanku mengerat pada handle bag yang tertutup satu kain berwarna biru berbahan sutra. Tentu bahan ini yang menjadi begitu dingin dipegang. Hadiah dari seseorang yang mengatakan bahwa air mata perempuan itu begitu indah hingga tidak masalah kain sutranya kotor oleh make up yang luntur. Hari ini aku tidak ingin menggunakannya sehingga kuputuskan untuk melilitkan kainnya di pegangan tas. Sama halnya dengan air mata, aku tidak ingin menggunakannya bersamaan dengan alasan apapun yang nanti kudengar.

Sekali lagi, menunggu itu tidak menyenangkan. Ditambah tidak mengerti alasan aku sekarang duduk di bawah pohon rindang pukul empat sore.

"Kukira kau akan terlambat sama seperti sebelumnya." Katanya sesaat setelah mataku menangkap presensi tubuh yang selama ini membuat gelenyar aneh menjalar ke seluruh tubuh dalam senyum. Berjalan mendekat seperti sebuah boneka porselen yang mengkilap terkena sinar matahari sore.

"Tidak kalau kau mengatakan akan pergi jika aku terlambat." Jawabanku tidak mengindahkan tubuhnya yang duduk di samping. Tidak menolehkan kepala untuk memandang presensinya sebagai sebab aku menunggu cukup lama. Tidak menoleh pun sudah tercium wangi segar sabun yang membalur menyentuh hidungku lembut sekali. Memberikan kenyamanan untuk terus-terusan berada di sekelilingnya.

Keadaan kami memang baik-baik saja. Tapi aku yakin sekarang ini jika aku melihat lebih dalam, jiwanya hancur. Jantungnya mungkin sudah robek ke segala arah. Bahkan organ tubuhnya tidak tertata lagi di dalam seperti manusia normal pada umumnya. Tidak ada lagi detak jantung favorit yang sering aku dengarkan. Seluruhnya sudah hilang, dan ingin kugantikan dengan milikku. Tapi tidak bisa, tidak ada ragaku disini.

"Maaf, aku sedikit terlambat ya sebelum-sebelumnya." Punggungnya menempel pada bangku taman, menikmati sedikit suasana kesepian yang menjalar.

Kesepian tidak seindah semua kalimat romantis di novel. Mengandalkan diri sendiri tidak akan semudah itu. Takut aku akan tiba-tiba kehilangan seseorang. Jiwa manusia tidak akan paham akan sebab, mereka hanya menuntut kesenangan yang tidak paham akan kemampuan manusia lain juga bisa menghilang. Menoleh untuk mencuri pandang pada siluet wajahnya yang tegas. Jika tersenyum kau akan dihadapkan pada rahangnya yang mengencang. Demi Tuhan aku ingin segera mengelusnya perlahan namun jariku tidak bisa begitu saja menyentuh kulitnya, rasanya berdosa.

"Aku tak ingin main-main, Dek. Setelah pemakaman istri kakak, harusnya aku akan menduda selamanya"

Menduda selamanya

Tubuhku membeku seperti tidak diberikan kesempatan untuk memberikan jawaban. Sebenarnya lebih tepatnya kewarasanku tidak memberikan waktu bagi sisi impulsifku untuk bekerja dengan baik. Bayangan memukulkan kepala pada tembok besi beberapa kali hingga hancur sekelebat masuk ke dalam kepala. Tidak ada ruang bagiku tentu saja, kami dipertemukan oleh keadaan yang rumit. Ingin menyalahkan orang tua kami yang saling jatuh cinta, ingin menyalahkan kepengecutanku untuk membungkam mulut. Menikmati mencintai dalam diam bertahun-tahun, tumbuh dengannya sepanjang hidup hanya menikmati sendirian.

"Jika itu keputusanmu, Mas. Sudah banyak berbincang pada ibu?"

Melihat lagi jiwanya yang hancur. Dia begitu jatuh cinta pada istrinya yang baru saja dikebumikan. Dengan nekat aku malah memintanya datang. Ingin segera mengakhiri semuanya. Setelah ini, aku akan hilang ditelan bumi. Namun jikapun kesempatan itu datang saat ini, kalimatku membeku. Aku menyukainya lebih dari seorang kakak tiri. Kami hanya tiri, namun hubunganku tak hanya sebatas adik dan kakak. Tidak bisa tentu saja, aku menginginkannya lebih. Walaupun memang semuanya hanya ada di kepalaku, keyakinan itu pun hanya ada pada keyakinanku saja.

"Aku ingin mengejar impian ke luar negeri. Setelah ini pun aku tak bisa untuk lama-lama disini, Mas"

"Kok kamu juga meninggalkanku, Mas?"

Karena toh aku disinipun akan hancur jika melihatmu kedua kalinya jatuh cinta. Jahat memang, ada sekian persen rasa bahagia saat wanitanya meninggal karena sakit keras. Bayangan dia sendiri begitu menggiurkan, namun hubungan rusak ini sudah banyak tertelan atas ayah ibu kami yang lebih dahulu memberikan batasan bahwa mereka menikah, menjadikan kami tak lebih dari kakak dan adik.

"Kita sudah lama sama-sama, Mas. Setelah Mbak dinikahi mas dulu juga kita sempet loss contact lama. Ini ga seberapa"

"Harus banget kamu pergi, Dek? Mas butuh kamu biar tetap waras. Wajahmu sama presensimu itu bener-bener bikin Mas setidaknya merasakan rumah."

Dan aku harus pergi jika ingin waras, Mas. kalimat itu terus menggantung di ujung mulut namun tak juga sanggup ku keluarkan. Lebih lama aku disini, lebih ingin aku menancapkan hak yang tak seharusnya di tubuhnya. Aku tidak ingin merusak hubungan baik kami. Mencintai sendirian itu tidak pernah menyenangkan, sama seperti menunggu.

"Jadi ini hanya selamat tinggal. Semoga mas baik-baik saja." tanganku menggenggam tangannya yang pucat, yang kurus karena begitu sedih atas kepergian istrinya.

"Semoga kamu juga sukses dek, doakan masmu ini semoga tetap waras"

Aku akan mendoakanmu semoga kau tetap gila disini sendirian. Jika berita kau jatuh cinta lagi terdengar, entah dengan cara apa lagi aku membunuh pasanganmu.



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang