Chapter 26: Sangga

9.5K 986 17
                                    


"Kurang ajar!"

Harlan menunduk.

Baru saja orang kepercayaanku itu mengabarkan bahwa Kiana pergi dengan seorang pria yang sering mendatanginya saat makan siang. "Maaf, Pak. Apa perlu kita bereskan?" tanya Harlan sigap

Harlan memang lain dengan Eka. Dia tegas, jago ngebut, dan jago kungfu. Kalau ada yang tidak beres, dia pasti akan langsung bertindak untuk membereskannya.

Kulambaikan tangan tanda menolak usul yang diajukan oleh salah satu orang kepercayaanku itu. Aku kembali duduk di atas kursi. Minggu depan aku harus segera kembali ke Gili untuk mengurus resort yang ada di sana. Masalah Kiana ini harus cepat dituntaskan . Kalau bisa, aku akan membawanya ke Gili.

Ponselku berdering di tengah- tengah kacaunya pikiranku. Nama Ambalika tertera di layarnya. Harlan segera undur diri dari ruangan.

Kuhela napas berat, sebelum mengangkat telepon. "Halo, Ambalika. "

****

Shaburi And Kintan Buffet di Pacific Place lumayan ramai saat makan siang hari itu.  Ambalika meminta untuk  ditemani makan siang. "Saya nggak tahu tempat makan siangmu pindah  sejauh ini sekarang,"

Gadis yang semakin tampak kelihatan kurus itu hanya mengangkat kedua bahunya yang semakin tipis. "Dan kamu kurusan. "

"Bagus dong!" serunya agak kelewat ceria. "Orang rela keluar duit banyak supaya bisa kurus. " Kilahnya.

Aku menatapnya dengan sorot mata prihatin. Bagaimanapun, aku tetap sangat menyayangi Ambalika. Tak tega rasanya melihatnya layu seperti ini.

Karena sebelumnya Ambalika adalah tipe gadis yang enerjik dan ambisius. Sekarang gadis itu lebih banyak diam dan melamun. "Tuh kamu ngelamun lagi. Sudah jauh- jauh bawa aku ke sini apa cuma untuk melihatmu melamun?"

"Mas Nara tahu, kalau Radian lagi di Bandung?"

Mata bulatnya menatapku lekat dan penuh harap. Ambalika tahu, aku terbiasa menyelidik segala hal. Aku berpikir sejenak.

Mempertimbangkan untuk mengangguk, namun yang kulakukan hanya menggeleng sekilas--- sambil lalu. Aku mulai memanggang daging yang diiris tipis- tipis yang sudah tersaji di atas meja.

"Memangnya itu masih jadi urusanmu?"  tanyaku dengan suara bergumam enggan, "menurut Mas kamu nggak perlu lagi mikirin pria bajingan seperti dia."

"Ya gimana Mas? Aku sama dia tuh hampir nikah!" bantah Ambalika bersikeras. "Wajar kalau aku masih  mengharapkan penjelasan yang seterang- terangnya dari dia. Lagipula selama ini kita belum pernah ngobrol empat mata yang serius. Aku ingin tahu perempuan seperti apa yang sudah bikin dia berpaling dariku dan  membatalkan pernikahan kami." Katanya murung. Aku menatapnya sekilas.

"Jangan suka menyiksa diri sendiri. Lebih baik kamu nggak tahu apa- apa ketimbang tahu tapi semakin sakit, kan?  Terkadang jadi orang yang nggak tahu apa- apa itu baik buat kesehatan pikiran. Nggak semua hal harus kamu tahu jawabannya. Lagipula, dengan sikapnya yang seperti itu sudah jelas bahwa dia memang pengecut. Buat apa kamu kejar lagi?"

Aku menyuapkan sepotong daging. "Mas sendiri jauh lebih suka mencincangnya menjadi setipis daging ini. "

Ambalika menggeleng, menatapku ngeri. Seolah aku ini pembunuh berdarah dingin. "Lagian ini sudah hampir dua bulan, Am.  Dia mungkin sudah lupa sama kamu. "

Hening. Sepupuku itu terdiam. "Dengar, kamu itu tipe perempuan yang masuk akal. Kenapa jadi segini emosional hanya karena ditinggal pergi seorang lelaki linglung seperti dia? Yang menurut Mas nggak layak dapatin kamu. "

Mendendam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang