Sebenarnya aku ingin lari.
Pergi dari tempat ini. Pergi dari Jakarta.
Segala yang berada di tempat ini sudah terlalu rumit untuk kupahami dengan akal sehat. Tingkah mama yang nggak bisa lagi kumengerti. Juga nggak bisa lagi kutolelir.
Meskipun hingga sekarang aku belum mendapatkan petunjuk ke mana mama pergi. Apakah dia jadi ke Surabaya bersama Hendi? Atau ke tempat lain.
Untungnya pagi ini aku sudah bisa kembali beraktivitas. Siang nanti aku berencana ke mal untuk beli ponsel baru. Aku agak meragukan benda yang kemarin sempat disita oleh Sangga lantas dikembalikan lagi tadi pagi.
"Woi, Bestie!" Fenita menggaplok pundakku. Sejak pagi aku hanya duduk diam di ruangan. Padahal biasanya 85% adalah mobile. Bergerak dari satu tempat ke tempat lain. "Tuh dicariin mbak Dara. Nanya kenapa kemarin sama sekali nggak muncul!"
Aku mendesah. Rasa malas bercokol seolah menahan tubuhku untuk bergerak leluasa. Aku juga belum menghubungi ayah lagi.
Namun begitu, aku tetap pergi ke ruangan mbak Dara. Perempuan yang tampak elegan dalam balutan atasan berkerah sabrina berwarna putih gading dan celana berpipa warna abu- abu tua. Aku sangat mengagumi sosok perempuan yang satu ini. Mampu berdiri tegak di atas kakinya sendiri.
Mbak Dara adalah alumni panti asuhan di daerah Tanah Sereal, yang berjuang mati- matian mendirikan Stardust sejak zaman masih kuliah. Awalnya untuk menambah uang saku dan supaya bisa menyumbang ke panti asuhan tempatnya dulu tinggal, namun lambat laun, usahanya berkembang. Dari hanya mulai makelaran, Mbak Dara bisa mendirikan Stardust bersama beberapa orang temannya.
Meskipun dikenal sangat andal dalam merencanakan pesta, terlebih pesta pernikahan, namun mbak Dara sendiri masih betah hidup menyendiri di usia kepala tiga.
Ada yang bilang kekasihnya adalah teman sejak SMA nya, dan berasal dari golongan konglomerat. Aku sendiri juga nggak begitu paham. Banyak juga yang berusaha mengorek- ngorek informasi tentang statusnya.
"Kamu agak kurusan ya, Ki..." katanya begitu aku masuk ke dalam ruangan yang didominasi warna putih dan kayu itu. "Kelihatannya kamu juga pucat. Lagi nggak enak badan kah?" Alisnya bertaut di tengah- tengah. Aku hanya melengkungkan senyum simpul sebagai jawaban. Duduk di hadapan perempuan dengan riasan natural, di depan meja minimalis yang terbuat dari limbah kayu.
"Ya gitu deh, Mbak. Cuaca lagi nggak bagus sekarang. " Aku meluncurkan sedikit kebohongan.
"Gimana nih progress kerjaanmu? Lagi nanganin siapa?"
"Gina, Karina,"
"Oh ya?" matanya menatapku penuh selidik. "Yang Ambalika itu batal ya?"
Aku mengangguk kaku.
Kudengar perempuan elegan itu menghela napas berat. Kemudian tangannya bergerak membuka laci meja kerjanya. Sebuah amplop cokelat dikeluarkan dari dalam. Sepasang mata lebar milik Mbak Dara menatapku lekat. "Ada yang ngirim ini ke saya," dia mengangsurkan amplop cokelat itu ke arahku. Aku menatapnya bingung. " Ini apa ya, Mbak. "
"Coba dibuka saja."
Aku menatap ragu pada amplop cokelat besar yang lumayan tebal itu, kemudian menatap ke arah Mbak Dara yang masih mengamatiku dengan ekspresi datar dan susah untuk ditebak. Entah dia kecewa, marah, atau penasaran.
Pelan, kubuka amplop cokelat itu. Dan betapa kagetnya aku melihat wajahku dan Radian yang sedang duduk kafe Roxy. Foto ini sepertinya diambil saat malam hari.
Tentu saja aku merasa panas dingin. Jantungku mencelos, seakan- akan jatuh ke telapak kakiku. Napasku memburu. Sementara dalam pikiranku mencoba menggali siapa yang menerorku kali ini? Apakah ini perbuatan Sangga? Selama ini hanya dia yang berpeluang melakukan hal menyimpang. Karena aku tahu sudah sering dia mengirim Eka dan Harlan bergantian untuk mengawasiku. Atau ada orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendendam Rasa
ChickLitSembilan tahun telah berlalu, sejak Arsangga Narawangsa yang cuek membuatnya patah hati karena terlalu cuek. Nggak hanya itu, mantan Kiana itu malah kepergok jalan bareng Jelitha, sahabatnya sendiri, ketika mereka masih berpacaran. Sembilan tahun k...