1. Kembali

3 1 0
                                    

Fioren teringat dengan kata-kata pemuda yang menciumnya. Sesaat pipi gadis itu diwarnai rona merah. Lalu janji pemuda itu... mungkinkah?

Mengingat isi janjinya, pasti kembalinya Fioren ada hubungannya dengan pemuda itu. Rasanya ia ingin segera menemuinya, tetapi agaknya hal itu sulit dilakukan. Jika ingin bertemu, setidaknya ia harus menulis surat terlebih dahulu sebagai bentuk kesopanan. Apa lagi lawannya adalah Ellrane Finn, si pemuda yang tak lain merupakan putra kedua Duke Amethyst. Fioren tidak boleh terburu-buru dan bertindak gegabah. Terlebih lagi tidak ada jaminan kalau lelaki itu juga mengingat masa lalu atau tidak.

Lagi pula, Fioren akan bertemu dengannya sebulan lagi di akademi. Sekarang sedang masa liburan. Dan, Ellrane Finn bukan satu-satunya yang penting. Untuk sekarang, Fioren sangat ingin melihat wajah ayah dan kakaknya. Padahal peristiwa eksekusi itu rasanya seperti baru terjadi kemarin, tetapi ia sudah sangat merindukan keluarganya.

Keluarganya... kan?

Fioren menggelengkan kepalanya. Berpikir negatif hanya akan membuatnya menderita. Meskipun ia adalah anak yang tak diinginkan kelahirannya, hal itu tidak merubah fakta bahwa mereka adalah keluarga. Ia percaya bahwa sebenarnya ayah dan kakaknya menyayanginya. Ia percaya. Tidak, ia harus percaya. Karena dengan kepercayaan itulah ia dapat bertahan hidup. Walaupun pada akhirnya ia menderita karena rasa percaya itu, setidaknya ia telah berusaha dan terus mencoba. Tak peduli berapa banyak duri yang menusuknya dari segala arah.

Fioren masih ingat tatapan dingin keluarganya. Tetapi ia yakin di balik sorot dinginnya pasti ada kehangatan yang tersembunyi. Mantan pengasuhnya pernah bercerita. Katanya Marquess, ayahnya, itu sangat dingin dan tak berperasaan, tapi di balik topeng itu ia sangat mencintai istrinya. Bahkan rasa cintanya sangat besar sampai-sampai orang lain tak akan mengira ia bisa melakukan hal-hal tak masuk akal demi istrinya. Oleh karena itu, mungkin saja ia juga diam-diam menyayangi Fioren, putri semata wayangnya.

Saat mendengar cerita itu, Fioren baru berusia 10 tahun. Dan ia sangat sedih. Karena ia tahu, bahwa dirinyalah yang merenggut cinta ayahnya. Fioren yang hidup dengan 'memakan' ibunya sendiri. Fioren yang telah merenggut wanita berharga dari pelukan ayah dan kakaknya. Karena kesadaran tersebut, Fioren berpikir dirinya memang pantas diperlakukan selayaknya sampah.

Anak yang tak diinginkan, pembawa sial, anak yang lahir dengan membunuh ibunya.

Semua hinaan itu sempat menggoyahkannya. Lalu ia bangkit dan berusaha keras untuk menebus dosa-dosanya. Fioren memilih menjadi ksatria, karena dengan begitu ia dan keluarganya akan mendapat kehormatan. Dan sepupunya, yakni Pangeran kedua, tidak akan bisa meremehkannya.

Sayangnya, pilihannya malah menghasilkan kematiannya.

Kali ini, Fioren memutuskan untuk hidup sebagai ksatria biasa saja. Jika bisa, lebih baik tak perlu menjadi ksatria resmi kerajaan. Ia juga harus menghindari tatapan sepupunya.

"Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan keluargaku lagi, Eduardo Rutheas. Apa lagi membuat leherku putus," gumam Fioren. Sekarang ia dalam perjalanan menuju ruang kerja ayahnya.

Beberapa pelayan yang berpapasan dengannya menatapnya seolah melihat hantu. Sesampainya di depan kantor Marquess, Fioren mengetuk pintu perlahan. "Ayah, bolehkah saya masuk?" Tanyanya pada keheningan di balik pintu itu.

"Masuklah," sahut Marquess.

Fioren memasuki ruangan, dan langsung dihadapkan dengan tatapan muram sang ayah. Dengan ragu-ragu, gadis itu menghampirinya. "Selamat pagi, Ayah." Sapanya.

Marquess mengernyitkan dahinya. Lengannya yang memegang pena itu masih sibuk menulis. Tanpa memandang wajah putrinya, "hari sudah siang, bodoh!" Hinaan yang begitu alami meluncur dari sela bibirnya. "Ada urusan apa kamu kemari?"

Fioren terdiam. Ia sendiri tak mengerti mengapa dirinya ragu-ragu. Terutama saat melihat Ayahnya sejak masuk tadi, ia merasa seluruh tubuhnya seolah bergetar. Apakah getaran itu karena rasa rindu yang menyeruak? Fioren tidak tahu. Ia menggenggam sisi gaun tidurnya‐-tunggu, gaun tidur? Ah, Fioren paham mengapa para pelayan menatapnya seperti itu tadi. Ternyata ia masih mengenakan gaun tidur yang tipis ini. Tapi di luar dugaan, reaksi Marquess biasa saja. Fioren kira ia akan memarahinya.

Fioren menghela napas, lalu tersenyum anggun. "Sejujurnya saya datang karena merindukan Ayah," katanya.

Srek!

Pena yang dipegang Marquess bergerak tak terkendali. Sebuah coretan tampak di permukaan kertas. Marquess menatap Fioren, masih dengan lipatan di dahinya, bahkan lebih parah. Dilepasnya kacamata yang semula membingkai mata abu-abunya. Jemarinya bergerak menyugar surainya yang sehitam batu obsidian. Pantas saja keluarga Alderaine mendapatkan gelar Marquess of Obsidian, karena garis keturunannya selalu terlahir dengan rambut bak malam gelap yang memikat.

Marquess mendecakkan lidahnya. "Rindu padaku? Jangan mengatakan hal yang bodoh."

"Saya bersungguh-sungguh, Ayah! Saya sangat merindukan Ayah!" Fioren mengatakannya dengan terburu-buru, sehingga suaranya terdengar panik.

"Ha!" Marquess memiringkan kepalanya. "Pergilah sekarang selagi aku masih bicara baik-baik." Begitu saja, ia mengusir putrinya. Hei, ini putri semata wayangmu, lho?

Kepala Fioren menunduk seketika. "Baik, Ayah." Kemudian ia berbalik keluar dari ruangan yang suram itu tanpa mengangkat wajahnya. Hingga ia nyaris menabrak seseorang yang berdiri di depan pintu. Fioren mendongakkan wajahnya. "Kakak?"

Seorang pria dengan setelan rapi berdiri tepat di hadapannya. Ia adalah Drake Alderaine, putra sulung Marquess sekaligus kakak satu-satunya Fioren. Dengan penampilan yang sama persis seperti Marquess, pria itu menatap tajam Fioren.

Fioren tak menyangka akan berpapasan dengan Drake. Gadis itu menatapnya ragu-ragu. Wajah pria itu tampan, hanya saja apa-apaan tatapannya tersebut. Setiap kali melihatnya, Fioren merasa seperti sedang berhadapan dengan Marquess.

"Hei, minggir!" Ucap Drake dengan nada ketusnya.

"Ah, maaf!" Tak ingin membuat Drake marah, Fioren buru-buru menyingkir. Mempersilakan Drake untuk masuk ke dalam kantor. Namun Drake hanya diam sambil menatapnya dengan rumit. "Ada apa, Kak?" Tanya Fioren yang tak tahan lagi berada dalam suasana canggung.

Drake sedikit membungkukkan punggungnya agar wajahnya dapat setara dengan wajah Fioren. Kemudian ia berbisik, "pakaian apa yang kamu kenakan, dasar gadis tak tahu malu! Sebaiknya segeralah menggantinya." Setelah itu Drake langsung meninggalkannya sendirian.

Termenung di lorong, Fioren sadar dan segera kembali ke kamarnya. Sehingga ia tak sadar akan bunyi pintu yang berdecit dengan keluarnya Drake dari kantor Marquess. Pria itu menatap jejaknya untuk waktu yang lama.

BERSAMBUNG



The Knight Who Turned Back TimeDove le storie prendono vita. Scoprilo ora