Selama jam kerja yang Sivia lakukan hanya melamun, kerap kali pegawai lama menegurnya agar bekerja dengan konsentrasi. Sivia mengangguk seraya tersenyum apabila berulang kali ditegur seperti itu dan kembali bekerja, sekarang akhirnya waktu istirahat. Karena jarak dari kantor kecamatan desanya dengan rumahnya sangatlah dekat, Ia pun memutuskan untuk pulang dan makan siang dirumah saja lagi pula waktu istirahat 1 jam lebih hitung-hitung mengirit keuangannya. Sivia hanya tinggal berdua dengan kakak laki-lakinya, namun begitu sang kakak sangat jarang berada dirumah, sibuk dengan urusan berjudi juga mabuk-mabukkan. Jika pun pulang hanya ingin meminta uang pada Sivia, Kedua orang tua mereka sudah lama meninggal dunia. Faktor utama yang membuat kakak laki-lakinya berubah yang dulu penyayang dan lembut dalam bertutur kata, karena Orang tua mereka yang meninggal.
Sivia menepis semua pikiran masa lalunya dan kembali tertarik saat Ia dan Alvin tengah berada diterminal, masih teringat jelas wajah Alvin yang begitu kacau memeluknya dengan erat mencari kenyamanan dan ketenangan.
———————
"Ehmm.. Sepertinya kita bertemu lagi, dan kali ini disengaja." Sivia langsung melompat saat sebuah suara mengagetkannya begitu saja, Ia menoleh.
"Alvin, kau...? Bagaimana kau bisa disini?." Tanya Sivia cepat, wajahnya menampakkan ekspresi marah. Alvin berpikir bahwa Sivia masih tidak terima dengan kebohongan kepada sahabatnya itu.
Alvin mendekat. "Hmmm... Sepertinya, aku perlu mencium pucuk hidung mu lagi agar kau bisa bersikap jinak seperti malam itu." Wajah Sivia seketika bersemu merah saat mendengar ucapan dari Alvin, Sivia malu.
Alvin terkekeh. "Tadi aku berniat ingin menjenguk kalian berdua, tiba-tiba saja aku melihat mu ditrotoar dan mengarah ke teriminal ini. Aku mengikuti mu." Jelas Alvin, "Dasar laki-laki penguntit diam-diam."
Alvin membeku ditempat. "Dasar laki-laki penguntit." Kata-kata itu memutari otaknya tanpa ampun, kalimat yang selalu Ia dengar saat itu. Dan kini, Sivia mengatakan hal yang sama walaupun Ia tahu Sivia secara kebetulan saja mengatakannya. Namun mampu membuat Alvin terdiam, dengan satu helaan membuat tubuh mungil Sivia terengkuh sempurna olehnya. "Aku merindukan mu... Aku merindukan mu."
Sivia tengah syok atas semua perlakuan Alvin yang tiba-tiba ini, membuatnya tidak menyadari bahwa sekarang berpuluh-puluh pasang mata memperhatikan mereka berdua sebagai tontonan drama tanpa memungut biaya.
"Alvin....," gumam Sivia tak percaya
Alvin terus mengeratkan pelukannya, "jangan lepaskan Sivia, ku mohon.....," Sivia begitu malu saat menyadari semua orang menjadi mereka berdua sebagai objek yang menarik, terdengar isakan kecil dari Alvin tubuhnya bergetar pelan. Menangis dalam diam.
Sivia menjadi bingung kenapa Alvin seperti ini, matanya langsung menyusuri dimana mobil Alvin berada perlahan namun pasti Sivia melangkah pelan dan diikuti Alvin yang masih memeluknya sambil terisak. Untunglah mobil itu tidak terkunci, Sivia memilih untuk masuk dikursi penumpang setelah Alvin masuk duluan. Alvin menurut saja, saat Sivia masuk Ia kembali memeluk Sivia. Karena begitu bingung akhirnya Sivia mengusap lembut punggung Alvin dengan jemari mungilnya.
"Alvin....," panggil Sivia, tak beberapa lama Alvin pun melepaskan pelukannya, menghapus kasar air matanya yang tadi sempat mengalir, Alvin begitu kacau. "Anggap saja aku tidak pernah mengeluarkan air mata ku tadi, Anggap saja mata ku ke masukan debu." Nadanya terkesan marah, Sivia mengkerutkan keningnya terus menatap Alvin yang sekarang memandang ke arah luar kaca mobilnya dengan melipat kedua tangannya di dada. Tatapannya begitu hampa, Alvin beralih pada lehernya lalu menarik sebuah kalung yang berbandul 2 cincin emas putih begitu elegan.