Alvin tengah mondar-mandir didepan teras Rumah mewahnya, Rumah mewah yang saat ini dibelinya dari salah satu rekan kerjanya. Di Kota ini Ia tidak mempunyai Rumah melainkan hanya sebuah Apartemen, kedatangannya kesini waktu lalu untuk berlibur dan melepas penat juga menjernihkan pikirannya, namun semua pupus karena berbagai macam masalah yang mendera. Tidak, bukan dialah yang menjadi tokoh utama dalam permasalahan ini tetapi sahabatnya yang mengalami, mau tak mau pun Ia juga ikut campur tangan dalam masalah sahabatnya. Seperti saat ini, terjebak dalam Tali pernikahan yang bertujuan sebagai melancarkan rencananya dalam membantu semua pihak.
Alvin melirik Arloji hitam yang melingkar pada tangan kirinya. "Selarut ini ? Ya Tuhan." Ia menghela nafasnya begitu kasar. "Kau kemana Sivia. Kau bilang akan pulang kerumah, tetapi saat aku pulang kau tidak ada. Kenapa juga ponsel mu tidak aktif ?" Alvin berulang kali menyambungkan Teleponnya kepada Ponsel Sivia, tapi nihil Ponsel perempuan itu benar-benar tidak aktif.
"Arrrgggghhhh." Dengan kesal Alvin membanting ponselnya begitu keras lantas mengacak rambutnya kesal. "Jika saja dia menatap mata ku, aku bisa membaca pikirannya." Ah, pikiran seperti ini mengenai gadis itu, kenapa lebih sulit Ia redam daripada masalah sahabatnya.
"Kadangkala pikiran mu begitu mudah ku baca tapi entah kenapa ada waktunya kau sulit terbaca, seperti saat ini." Akhirnya Ia memutuskan masuk kedalam rumah mewahnya, sepi dan sunyi. Karena memang, rumah itu Ia khususkan tanpa pelayan rumah atau sebagainya. Hanya ada Ia dan Sivia, tetapi sekarang dimana perempuan itu saja Ia tidak tahu, yang pasti Ia akan menunggu sampai perempuan itu pulang.
*********
Jari-jari kokohnya menyatu pada kaca pintu ruangan tersebut, sepasang matanya tak lepas memperhatikan seorang perempuan didalamnya yang tengah tertidur menggenggam jemari mungil Clara.
Sebuah tarikan tipis melengkung keatas tercipta begitu samar pada bibirnya. "Bingung mencari bahan untuk menutupi penyakit, Clara ?" Suara itu berhasil mengejutkannya lantas Ia memutar tubuhnya tepat kesumber suara.
"Apa maksud mu ?" Pertanyaan bodoh, padahal Ia tahu maksud dari Ucapan dari Pria yang saat ini tengah didepannya -Zariel Ltuno-.
Zariel tersenyum tipis kemudian merogoh saku celananya, sebatang rokok pun sudah bertengger pada bibirnya, Rio mengkerutkan keningnya. "Sejak kapan Zariel merokok ?" Rio membatin, karena dia antara mereka berdua bukan Pria perokok. Tak disangka-sangka Zariel menghembuskan kepulan asap rokok tersebut tepat diwajah Rio.
Rio terbatuk-batuk tetapi tidak sedikitpun melawan dan sebagainya. Sebatang rokok tadi lantas zariel hempaskan kelantai kemudian Ia matikan menggunakan sepatu kerjanya.
"Heran kenapa aku menjadi perokok aktif ?" Rio hanya diam, dia tahu saat ini Zariel masih menyimpan suatu kemarahan yang besar.
"Ck, itu sebagai contoh !" Sambungnya begitu dingin
"Sebentar lagi kau tidak ada bedanya dengan sebatang rokok tadi, Argario !" Matanya menyalang menatap Rio, kebencian sangat tertanam disana, Rio tahu itu.
"Aku tidak mengerti maksud mu." Tukas Rio santai.