Aku Mencintainya

720 46 7
                                    

DILAN. Dia adalah Dilanku Tahun 1991.

Novel Dilan telah menyeret perhatianku. Aku tidak lagi memerhatikan guru kimia baru pengganti Tante Cabe. Maksudku, Bu Tina yang beberapa bulan lalu kumasukan cicak ke dalam tempat pensilnya. Karena kejadian itu Bu Tina pindah sekolah. Tidak lagi mengajar di sekolah ini. Rena bilang, aku harusnya malu.

Yasudah, aku malu. Dan hari-hariku berlalu tanpa banyak intraksi dengan siapa pun termasuk Rena.

Aku pendiam sekarang. Doakan benar-benar diam. Aku kembali menjadi aku yang dulu, yang lebih memilih berteman dengan buku. Kurasa buku lebih mengajarkanku bagaimana melihat dunia seutuhnya, tidak hanya sebelah mata saja.

Ah, sebenarnya ada alasan lain yang membuatku begini, Arkan. Bukan Arkan alasanku, anggap saja aku tak pernah mengenal dia. Tapi sejak saat itu, sejak dia memberiku penawaran, bukan tentang coklat. Tapi, perihal jabatan di KIR.

Awalnya saat sertijab kukatakan aku belum sanggup dan belum siap menjadi ketua jurnalistik. Aku hanya ingin menjadi anggota, yang tenang dan damai. Akhirnya Arkan bilang, oke. Oke, aku boleh menolak—yaiyalah. Itu kan, HAK ku.—asalkan aku tidak lagi membuat kerusuhan di sekolah. Oke, kataku juga—asalkan tidak ada yang memancing emosiku—aku setuju.

Tapi.

Apanya yang membuat kerusuhan? Kau harus mengerti kerusuhan terjadi bukan karena aku, tapi karena mereka tidak mau menghargai bagaimana caraku menjalani hidup. Karena mereka menutup mata dari perbedaan. Bagi mereka, menjalani hidup yang sama dan seirama dengan apa yang tertulis di atas kertas dan ditandatangani oleh kepala sekolah adalah cara hidup yang sudah pasti baik dan benar.

Sebenarnya aku tidak ingin memutar-mutar cerita. Aku tidak mau flashback, karena hidupku hanya terdiri dari beberapa potongan kisah, bukan sejarah, bukan legenda, apalagi dongeng fabel, yang wajib diingat oleh anak bangsa atau diceritakan pada anak cucu.

Aku kembali tenggelam dalam cerita novel Dilan dan imaji masa lalu. Ada bagian yang membuatku teringat akan kejadian bersama Arkan di malam Rabu yang telah lalu, lalu.

Ah, apalah arti masa lalu jika masa depan yang kubutuhkan. Oke, aku tahu. Masa lalu juga diperlukan untuk memperbaiki masa depan. Masa kini dan masa yang akan datang maksudku. Karena masa depan hanya hal tabu.

~Waktu itu, jalan Buah Batu rasanya bukan lagi milik Pemkot, melainkan milik aku dan Dilan, yang sedang berdua di atas motor.~

Aku tersenyum membaca kalimat tersebut. Benar. Waktu itu, jalan Tamansari rasanya bukan lagi milik Pemerintah Kota, melainkan milik anak-anak geng motor, yang lagi asik nonton balapan motor.

~Kupeluk Dilan sambil mengenang saat pertama kali aku mulai mengenalnya. Teringat kembali tentang semua hal yang sudah dia lakukan selama ini kepadaku. Di antaranya, ada juga yang menjengkelkan, tetapi tetap bisa membuat aku tersenyum.~

Aku tidak memeluk Arkan saat dia memintaku menaiki motornya dengan sogokan dua coklat. Aku bahkan duduk di ujung motor, menyisakan jarak beberapa sentimeter antara punggung Arkan dengan tubuhku. Ekor motor kujadikan pegangan. Tenang saja siapapun penggemar Arkan, aku tak menyentuh dia sedikit pun, sungguh.

Bila harus kuingat tentang sikapnya terhadapku, tak ada yang manis. Semuanya menyebalkan. Termasuk saat di jalan Tamansari, dia memakai jaket dan dia pasti tahu kalau aku kedinginan, tapi dia tidak ada inisiatif meminjamkan jaketnya kepadaku. Bahkan, dia menarik gas motornya secara full dan dia juga tidak kreatif untuk mempersilahkan aku memeluknya. Eh?

Kami hanya diam-diaman di atas motor. Sikapnya yang memang lebih dingin dari dinginnya suasana malam itu, entah kenapa tetap membuatku merasa nyaman di dekatnya. Apa pun yang dia lakukan, entah kenapa sejak saat itu aku merasa ingin terus di dekatnya, terus melihat wajahnya. Ah, harusnya peristiwa itu tak terjadi, tidak terjadi. Sehingga aku tidak jadi seperti ini. Dan sepertinya aku mulai tidak suka dengan sudut pandangku.

Bagai menjilat ludah sendiri, lalu memakan dagingnya setelah puas. Bagaimana bisa? Lelaki yang dulu kucaci maki kini berubah menjadi kusukai. Oh, benar-benar menjijikan. Aku tak henti menggeleng. Sudahlah, kembali kubaca potongan kisah dalam novel Dilan.

~Sikapnya kepadaku selama ini, agak susah kujelaskan. Dan, selalu sulit bagiku untuk tidak menyukai apa yang sudah ia lakukan. Secara khusus akan bisa membuat aku tertawa, atau minimal membuat aku tersenyum, sisanya membuat aku terjebak pada suatu keadaan yang lebih dari cuma rasa senang.~

Hampir sama denganku. Sikapnya kepadaku malam itu, dalam dinginnya memang sulit kujelaskan, sangat dingin maksudku sampai menusuk bagian terdalam tulang rusukku. Tapi entah kenapa hal itu malah terlihat lucu di mataku, lucu. Karena dia seakan menjelma menjadi sosok ayah yang selama ini kurindu dan kuharapkan. Aku tak meminta lebih, cukup dia peduli terhadapku meski dengan cara yang, terserah dia yang penting aku nyaman.

~Ini skenario yang paling menakjubkan dalam hidupku. Bagaimana kemudian dia bisa mengubah pikiranku. Bagaimana kemudian dia bisa mendekor ulang, dan mengubah warna hidupku. Aku tidak mau lagi berpikir mengapa kemudian aku memiliki rasa suka kepadanya. Hidup, memang, tak terduga.~

Setuju! Hidup. Memang. Tak terduga. Kehadiran Arkan membuatku berpikir ulang tentang laki-laki di dunia ini. Tidak semua laki-laki sama seperti kakak. Tidak semua laki-laki tak peka seperti ayah. Tidak semua laki-laki sebrengsek Wisma. Dan tidak semua anak geng motor sebejad begal.

Arkan adalah bukti nyata kalau laki-laki juga punya hati yang tak perlu kau mengerti, karena dia bukan soal matematika, sama seperti wanita.

~Jika aku berkata bahwa aku mencintainya, maka itu adalah sebuah pernyataan yang-sudah- cukup-lengkap.~

Esok harus bisa kupastikan kalau aku-tidak-mencintai-Arkan.

Aamiin.

Ripple of Life |✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang