Prolog

2.5K 363 46
                                    

The Capital

Tepat pukul delapan pagi, area lobi gedung pencakar langit bernama The Capital tampak ramai. Bangunan mewah 40 lantai itu memiliki interior putih bersih disertai kaca-kaca raksasa yang mengelilingi bangunannya. Ratusan karyawan berseliweran dengan langkah-langkah cepat, menandakan kesibukan perusahaan itu setiap harinya.

Tepat di depan pintu masuk utama, seorang gadis berambut hitam panjang mengedarkan pandangannya sejenak. "Finally, I came here." Berpenampilan formal dengan silk cream blouse, black belted pencil skirt, dan slingback shoes bertumit rendah, ia kemudian berjalan menuju meja resepsionis yang berada di ujung.

"Lo udah denger gosip baru nggak?"

"Gosip apaan?"

"Katanya ada ada jurnalis yang lagi gencar menggali informasi The Capital buat dijadiin headline mereka?"

"Nggak mungkin berhasil, sih. Kita 'kan punya Silma."

Langkah gadis itu sempat terhenti saat mendengar obrolan dua karyawan wanita yang barusan lewat di sebelahnya. Rasa penasaran pun mulai memenuhi benaknya. Sepengetahuannya, The Capital memang sedikit berbeda dari penyedia jasa pada umumnya dan tidak sembarang orang bisa bergabung sebagai klien di perusahaan bonafide itu. Dengan slogan Very Private Exclusive Service, The Capital hanya akan melayani orang-orang terpilih yang secara khusus mendapatkan undangan istimewa dari mereka. Berkat faktor keeksklusifan tersebut, wajar jika TC yang sudah berdiri selama dua puluh tahun hanya memiliki tidak lebih dari lima ribu klien di seluruh Indonesia.

"Halo." Berdiri di depan meja resepsionis, gadis berusia pertengahan 20an itu menyapa salah satu staf dengan sopan.

"Halo, selamat datang di The Capital. Nama saya Gaby, ada yang bisa dibantu?"

"Hari ini saya memiliki jadwal wawancara di salah satu departemen The Capital, pukul setengah sembilan pagi."

"Baik, boleh saya tahu nama Anda?"

"Rinel Nawangi."

"Baik, Bu Rinel. Di departemen apa Anda melamar?" Jemari Gaby dengan cepat mengetik di atas kibor. "Saya akan mengonfirmasi kembali jadwal wawancara Anda."

"Departemen lantai 20."

Gaby yang semula memperhatikan monitor sontak mendongakkan kepala. Matanya mengerjap sekali. "Lantai 20?"

"Ya." Senyum simpul menghiasi wajah Rinel. "Silma Bridge."

***

The Crews

"Oke, kanan, kanan! Yes!" Seorang pria berkemeja hitam terlihat asyik bermain game sambil terus menyerocos sendiri. Ruangan yang sebenarnya luas itu jadi tampak sesak dengan adanya selusin arcade game* seperti Pac-man, Galaxian, Pinball, Star Wars, hingga Street Fighter yang berjajar di kanan dan kiri. Dengan pemandangan dan bunyi-bunyi dentingan khas dari mesin permainan, orang yang pertama kali bertandang ke sana pasti akan menganggap ruangan itu adalah tempat hiburan arkade seperti Timezone alih-alih sebuah ruang kerja.

(*Mesin hiburan/permainan yang biasanya dioperasikan dengan koin.)

"Boss!" Di tengah keseruannya bermain Donkey Kong, ia mendengar panggilan seseorang yang masuk ke ruangannya dengan tergesa-gesa.

"Ada apa, Bad?" Kepala divisi Silma Bridge itu tetap melanjutkan kegiataannya, tanpa menoleh pada Badi—pria berkacamata yang kini berdiri di sebelahnya. "Heboh amat."

"Pak Lakhan, now is not the time to chill and play games. We've a snitch*!"

(*Pengadu/Pengkhianat.)

"Oh?" Berbanding terbalik dari sekretarisnya yang sedang kalang kabut, Lakhan hanya melirik sekilas. Kedua tangannya masih fokus menekan-nekan tombol permainan. "Dari departemen mana?"

"Chirping Town—"

"Bad, bukan nama departemennya yang gue tanyain."

"Oh, iya." Badi langsung meringis kecil. Karena buru-buru ingin menjelaskan, ia sampai lupa kalau Lakhan tidak terlalu suka menghafal nama-nama departemen yang ada di TC. Sebagai perusahaan yang memayungi puluhan jenispelayanan jasa yang mencakup bidang transportasi, pendidikan, eventmanagement, cleaning service, dan lain-lain—setiap departemen tersebut memiliki nama sendiri sebagai identitas mereka. "Snitch-nya dari departemen jasa penonton bayaran, Pak."

"Oalah, departemen yang sering ngerepotin Silma." Untuk kali pertama, Lakhan berpaling dari mesin permainan. Sambil meregangkan punggungnya yang terasa kaku, ia mengangkat tangan kanannya ke arah Badi. "Profil?"

Badi dengan sigap memberikan iPad yang digenggamnya. "Ini, Pak." Membuka layar persegi itu, tampak foto beserta profil lengkap seorang wanita muda.

"Okay." Tidak lebih dari tiga menit, Lakhan mengembalikan gawai itu pada pemiliknya, lalu mengambil ponsel dari saku celananya sendiri.

"Yes, Boss?"

"Get ready to catch the snitch." Sembari bicara dengan seorang laki-laki di ujung telepon, Lakhan memamerkan seringaian lebar, penuh makna. "Let's have some fun, guys."

***

A/N: Selamat datang di The Capital #3. Seperti biasa update-nya mungkin akan lama. Mohon kesabarannya menunggu. <3

Oh, ya, sedikit berbeda dari dua departemen The Capital sebelumnya, Silma Bridge akan memiliki suasana yang lebih ceria~ 

No more 'second chance or the past plays an important role' kind of trope lol. 

Silma BridgeWhere stories live. Discover now