3

293 36 8
                                    

Seperti yang Winston janjikan kemarin, hari ini ia benar-benar membawa Raden ke pusat perbelanjaan untuk membeli pakaian dan kebutuhan lain termasuk perlengkapan untuk keperluan sekolah. Rencananya Raden akan didaftarkan di kelas yang sama dengan Daren yang saat ini sudah menginjak kelas delapan. Awalnya Daren tidak setuju tapi Winston terus membujuknya dengan kata-kata manis yang mana membuat Daren langsung luluh. Winston melakukan itu semua agar mereka semakin dekat, ia ingin mengeratkan ikatan persaudaraan di antara Daren dan Raden.

Raden menatap tumpukan barang belanjaan di atas kasurnya dengan tatapan tidak terbaca. Tidak pernah ia sangka sebelumnya jika suatu hari ia akan berbelanja sebanyak ini. Bahkan barang-barang ini semuanya bermerek dan tentunya sangat mahal menurutnya.

"Ini sangat banyak."

Tok Tok Tok

Saat Raden selesai bermonolog, suara ketukan pintu dari luar kamarnya terdengar agak keras dan mendesak. Raden melangkah dengan kaki lebar untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, Raden bisa melihat tatapan datar dari seorang wanita paruh baya yang sepertinya bekerja sebagai maid di mansion ini.

Wanita itu sedikit mengangkat sudut bibirnya sebelum berbicara. "Saya Maryam, pelayan yang ditugaskan untuk membersihkan kamar anda."

Sepertinya maid yang bernama Maryam ini tidak suka akan kehadiran Raden. Terbukti dari sikapnya yang terang-terangan menunjukkan wajah tidak menyenangkan di depannya bahkan perkataannya penuh penekanan dan terkesan dingin.

"Sepertinya aku tidak pernah menyinggungnya. Tapi kenapa dia terlihat tidak menyukaiku?"

Raden mengangguk dan menggeser tubuhnya membiarkan Maryam mulai membereskan barang-barang belanjaannya. Melihat itu Raden mengangkat kedua bahunya tak acuh sembari meninggalkan kamarnya untuk dibersihkan. Ia hanya berpikir positif jika maid itu memang memiliki sikap jutek pada orang yang baru dikenal.

Saat melewati dapur, Raden berhenti dan menatap tertarik kearah Ranggi yang tengah sibuk membuat adonan tepung. Sepertinya ibu angkatnya itu akan membuat kue.

"Aku tidak ingat kapan terakhir kali ibu memasak kue untukku." Raden mau tak mau tenggelam ke dalam lamunan masa lalunya.

Ranggi yang melihat kedatangan Raden tersenyum lembut. "Aden, kesini..." Ia melambai menyuruh anak yang bengong itu untuk mendekat. Raden menghentikan lamunannya dan menghampiri Ranggi dengan senyum ramah yang terkesan canggung.

"Hei, senyum macam apa itu? Gak usah canggung jika berbicara dengan mommy. Bukankah sudah mommy katakan sebelumnya?"

Mendengar ucapan lembut Ranggi akhirnya Raden tersenyum dan kali ini senyum itu tulus dari dalam hatinya. "Mommy mau membuat kue, ya?"

Ranggi mengangguk antusias. "Mommy ingin membuat brownies."

Seperti tersadar akan satu hal, Ranggi menghentikan gerakannya dan menatap Raden dengan penasaran. "Aden tidak memiliki alergi, kan?"

Raden menggeleng dengan cepat. "Tidak." Ia melanjutkan dengan nada bercanda. "Aku memakan segalanya, Mom."

Mendengar itu Ranggi tertawa kecil. "Betapa beruntungnya kamu." Wanita itu menambahkan dengan suara rendah. "Daddy dan kedua kakakmu memiliki alergi terhadap gandum, jadi apapun yang berbau gandum tidak bisa mereka makan. Sayang sekali, padahal mommy sangat menyukai semua yang berbau gandum. Tahukah kamu betapa enaknya roti gandum, yah, itu roti kesukaan mommy."

Ranggi mencurahkan isi hatinya seolah sudah akrab dengan Raden. Entah mengapa ia merasa nyaman saat berbicara dengan anak yang suaminya bawa dan menjadi anak angkatnya ini.

Raden yang mendengar itu mengangguk mengerti. Ia tersenyum tipis dan menyahut, "Aden juga suka roti gandum." Ia tidak berbohong. Raden memang menyukai roti dari sari gandum, tapi ia jarang memakannya karena tidak memiliki uang untuk membeli sebungkus roti gandum. Ia memang se-menyedihkan itu di masa lalu.

"Benarkah? Akhirnya mommy memiliki teman juga. Bagaimana jika besok kita membuat kue dari gandum. Tapi kamu diam-diam aja, ini hanya untuk kita berdua, mengerti?"

Raden mengangguk sekali lagi. "Mengerti, Mom."

Mendengar jawaban dari Raden, Ranggi tidak bisa menahan kegembiraannya. Ia memeluk tubuh kurus didepannya dengan penuh kasih sayang. Sudah lama sekali ia menahan diri untuk tidak memakan roti gandum kesukaannya karena tidak enak karena hanya makan sendiri. Sekarang ia akhirnya menemukan teman yang memiliki selera kesukaan yang sama dengannya.

Raden sedikit tertegun dengan perlakuan tiba-tiba dari Ranggi, ia tidak membalas ataupun berontak. Raden hanya pasrah menerima pelukan dari ibu angkatnya itu.

"Aku tidak pernah dipeluk ibu seperti ini."

Setelah beberapa saat Ranggi akhirnya melepaskan pelukannya dengan wajah mengerut. Ia mengangkat tangannya untuk memegang kedua bahu Raden. "Kenapa kamu kurus sekali, Mommy seperti memeluk sapu saat memeluk tubuh kurus ini. Mulai sekarang kamu harus makan banyak biar sedikit berisi. Apa kata orang nanti jika melihat anak angkat Erlangga sangat kurus dan tidak terawat?"

Raden tidak tahu harus tertawa atau menangis mendengar kejujuran itu. Ranggi memang memiliki mulut yang ceplas-ceplos, tetapi meskipun begitu Raden tidak merasa tersinggung karena ini memang kenyataan.

"Baik Mom, nanti Raden makan banyak-banyak kok, Mommy tenang aja."

Ranggi mengangguk puas mendengarnya. Setelah itu ia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Kali ini Raden juga ikut membantu Ranggi untuk membuat brownies dan berbagai macam kue lainnya, hal ini menyebabkan pandangan Ranggi terhadap Raden sedikit berubah.

✧✧✧


Raden memakai seragam barunya dengan hati-hati, seolah takut jika ia memakainya dengan tergesa sedikit saja seragam itu akan kusut. Ia benar-benar menghargai pemberian dari ayah angkatnya ini, mengingat di masa lalu ayah kandungnya tidak pernah membelikannya seragam. Semua kebutuhan sekolahnya Raden beli sendiri menggunakan uang beasiswa dari pemerintah.

Setelah selesai dengan kegiatannya, Raden langsung turun setelah menyampirkan tas sekolah di bahunya. Penampilannya saat ini terlihat seperti siswa teladan yang selalu berpakaian rapi dan enak dipandang.

Di ruang makan, aroma harum dari masakan pagi menguar di udara. Keluarga Erlangga duduk mengelilingi meja, dan sepertinya mereka menunggu kedatangan Raden untuk sarapan bersama. Raden sedikit merasa tidak enak karena membuat mereka menunggu seperti ini, ingatkan dia untuk bersiap lebih cepat agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali.

"Selamat pagi, semuanya," sapa Raden dengan ramah. Ia berusaha semaksimal mungkin agar beradaptasi dengan keluarga barunya ini.

"Selamat pagi, Nak," jawab Winston sambil tersenyum. "Ayo, duduklah. Kita akan memulai sarapan."

Raden segera duduk di kursi yang kosong di sebelah Gara, "Maaf aku terlambat."

"Tidak masalah. Sarapan juga baru saja siap," jawab Ranggi. Winston mengangguk membenarkan ucapan istrinya.

Akhirnya mereka pun mulai menikmati sarapan bersama, sambil berbagi cerita tentang apa yang akan mereka lakukan hari itu. Raden sesekali tersenyum saat kakak pertamanya itu selalu menggodanya di sela-sela menikmati sarapan.

Sementara itu, Daren yang sedari tadi diam-diam mengawasi Raden sejak remaja itu bergabung di meja makan, mengepalkan tangannya untuk melampiaskan kekesalannya.

"Sumpah, aku benar-benar kesal saat melihat wajah tidak tahu diri itu. Baru beberapa hari tinggal disini, dia sudah terlihat seperti bungsu Erlangga sungguhan, huh. Benar-benar menyebalkan!" Daren menambahkan suara hatinya dengan sungguh-sungguh, "Tunggu saja, aku akan memberimu pelajaran agar kau tahu posisimu disini seperti apa."

Raden tidak menyadari jika kedekatannya dengan keluarga angkatnya membuat seorang yang awalnya berstatus sebagai bungsu Erlangga menyimpan dendam terhadapnya. Pemuda berstatus anak angkat itu masih bisa tertawa saat mendengar lelucon dari Winston, yang mana membuat Daren semakin bertekad untuk menendangnya dari keluarga Erlangga.

To be continued>>

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 23 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ADENWhere stories live. Discover now