13

9 2 0
                                    

Fulln't Sun.
.
.
.

Pagi itu, Haechan terbangun dengan keputusan yang sudah bulat di dadanya. Ia sudah terlalu lama menunggu, terlalu lama berpura-pura bahwa semua baik-baik saja.

Setelah mengajukan izin mendadak ke kantor dengan alasan tidak enak badan - yang sebenarnya tidak sepenuhnya bohong mengingat kepalanya terus berdenyut sejak semalam - ia langsung mengemudi menuju rumah lamanya.

Rumah itu masih sama seperti terakhir kali ia tinggalkan. Cat putihnya mulai mengelupas di beberapa bagian, dan tanaman-tanaman di halaman depan sudah terlalu tinggi.

Haechan tidak pernah punya keberanian untuk menjualnya, tapi juga tidak sanggup untuk terlalu sering mengunjunginya. Terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak pertanyaan.

Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kunci ke lubang pintu. Bunyi 'klik' pelan menandakan pintu terbuka, dan aroma khas rumah yang lama tak dihuni langsung menyergap hidungnya. Debu menari di bawah cahaya matahari yang menerobos lewat jendela-jendela tertutup.

"Aku pulang," bisiknya pelan pada kekosongan, sebuah kebiasaan yang tak pernah hilang meski tahu tak akan ada yang menjawab.

Haechan mulai dari ruang kerja ayahnya. Membuka setiap laci, mengecek setiap map, membaca setiap kertas yang ia temukan. Tapi tidak ada yang mencurigakan. Hanya berkas-berkas kerja biasa, tagihan lama, dan beberapa foto keluarga yang membuat matanya berkaca-kaca.

Kamar orang tuanya adalah tantangan tersendiri. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya dipasangi pemberat. Aroma parfum ibunya masih samar tercium dari lemari pakaian - atau mungkin itu hanya imajinasinya saja.

"Pasti ada sesuatu di sini," gumamnya pada diri sendiri, suaranya parau karena lelah. Sudah tiga jam ia mengobrak-abrik setiap sudut rumah. Kardus-kardus tua kini berserakan di lantai, isinya bertebaran seperti kepingan puzzle yang tak terpasang.

Kepalanya mulai pusing. Ia belum makan sejak pagi, tapi perutnya terlalu mual untuk memikirkan makanan. Setiap kali ia menemukan sesuatu yang mengingatkannya pada orang tuanya - sebuah syal rajutan kesayangan ibu, jam tangan ayah yang sudah berhenti berdetak - dadanya terasa diremas.

Tangannya terhenti pada sebuah album foto usang di dasar lemari pakaian ibunya. Sampulnya berwarna cokelat dengan ornamen sederhana yang sudah memudar.

Haechan ingat album ini - dulu, di malam-malam dimana dia tidak bisa tidur, ibunya sering membuka album ini sambil bercerita tentang masa kecil Haechan.

Jantungnya berdebar kencang saat membuka halaman pertama. Aroma kertas lama bercampur dengan sisa wangi parfum ibunya yang tertinggal. Foto-foto itu kebanyakan adalah potret masa kecilnya - Haechan kecil tersenyum lebar dengan gigi depan yang ompong, Haechan dalam gendongan ibunya saat wisuda TK, ayahnya yang tertawa sambil mengangkatnya tinggi-tinggi di pantai.

Air matanya mulai menggenang saat sampai di foto ulang tahunnya yang ke sembilan belas. Itu adalah pesta terakhir yang ia rayakan bersama kedua orang tuanya. Tiga bulan setelahnya, kecelakaan itu terjadi.

Tapi ada sesuatu yang aneh. Sebuah polaroid yang terselip di antara halaman-halaman album, foto yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Tanggalnya sudah memudar, tapi Haechan yakin ini diambil tak lama sebelum kecelakaan itu.

Di foto itu, ayah dan ibunya tampak tegang, tidak tersenyum ke kamera seperti di foto-foto lainnya. Dan di belakang mereka... Haechan memicingkan mata. Ada sosok yang sepertinya sengaja dipotong dari foto itu.

Ponselnya bergetar, mengejutkannya hingga foto itu hampir terlepas dari tangannya. Nama Mark berkedip di layar.

"Halo?" suara Mark terdengar cemas. Belakangan ini Mark selalu terdengar cemas setiap meneleponnya. "Kamu di mana? Aku ke kantor tapi kata Renjun kamu izin pulang lebih awal."

Kamu akan menyukai ini

          

"Aku..." Haechan menelan ludah, matanya masih terpaku pada foto di tangannya. "Aku di rumah."

"Rumah? Rumah lamamu?" Ada nada panik dalam suara Mark. "Tunggu di sana. Aku ke sana sekarang."

"Mark, tidak usah-"

"Aku akan sampai dalam 15 menit."

"Tapi-"

"Please," Mark memotong. "Tunggu aku."

Haechan bahkan belum sempat memprotes ketika Mark sudah memutus sambungan.

Belakangan ini Mark memang jadi sangat protektif, seolah-olah Haechan bisa menghilang kapan saja jika ia lengah sedikit saja.

Setiap kali Haechan mulai membahas tentang orang tuanya, Mark akan mengalihkan pembicaraan atau tiba-tiba harus pergi. Ada sesuatu yang aneh dengan sikapnya, tapi Haechan terlalu takut untuk bertanya lebih jauh.

Tepat 13 menit kemudian, bel rumah berbunyi dengan tidak sabar. Mark berdiri di sana dengan wajah pucat dan khawatir, rambutnya berantakan seperti habis berlari. Matanya langsung melebar melihat kondisi ruang tamu yang seperti habis diterpa tornado.

"Ya Tuhan, apa yang terjadi di sini?" tanyanya, melangkah masuk dengan tergesa. Matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya terpaku pada Haechan yang masih duduk di lantai dikelilingi berkas-berkas. "Kamu baik-baik saja?"

"Aku sedang mencari sesuatu," Haechan menjawab tanpa mengangkat wajah, tangannya masih sibuk memilah berkas-berkas di hadapannya.

Mark berlutut di sampingnya, mencoba meraih tangan Haechan yang gemetar. "Mencari apa?"

"Kebenaran." Haechan akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Mark lekat-lekat. Matanya yang sembab membuat Mark tersentak. "Tentang kecelakaan orang tuaku."

Wajah Mark langsung berubah. Ada kilatan aneh di matanya - campuran antara kecemasan dan... rasa bersalah? Tangannya yang tadinya hangat menggenggam tangan Haechan mendadak dingin.

"Haechan-ah," Mark mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.

"Kenapa?" Haechan menarik tangannya dari genggaman Mark. "Kenapa setiap kali aku membahas ini, kamu selalu terlihat gelisah? Kenapa kamu selalu menghindar? Apa yang kamu sembunyikan dariku, Mark?"

"Aku tidak-" Mark menelan ludah, matanya menghindari tatapan Haechan. "Aku hanya mengkhawatirkanmu. Kamu sudah terlalu terobsesi dengan hal ini."

"Terobsesi?" Haechan tertawa getir, suara tawanya bergema di ruangan yang kosong. "Mereka orang tuaku, Mark. Dan semakin aku menggali, semakin banyak yang tidak masuk akal. Laporan kecelakaan yang terlalu simpel, saksi mata yang mendadak menghilang, dan sekarang..." ia mengangkat foto polaroid itu dengan tangan gemetar, "foto yang sepertinya sengaja dirusak."

Mark terlihat semakin pucat, seolah darah sudah surut dari wajahnya. "Haechan, kumohon... ada hal-hal yang lebih baik tidak-"

"Tidak apa? Tidak diungkit? Tidak diketahui?" Haechan berdiri, membuat beberapa berkas di pangkuannya jatuh berserakan. Suaranya bergetar menahan emosi yang sudah lama terpendam. "Kenapa? Kenapa semua orang sepertinya tahu sesuatu tapi tidak ada yang mau bicara? Kenapa setiap kali aku mulai bertanya, semua orang bersikap aneh? Kenapa kamu-"

"KARENA AKU TIDAK MAU KEHILANGANMU!"

Mark tiba-tiba berteriak, membuat Haechan tersentak mundur. Mark tidak pernah berteriak padanya sebelumnya. "Karena... karena aku takut kalau kamu tahu semuanya, kamu akan..."

Mark tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi matanya berkaca-kaca. Ia mencoba meraih Haechan, tapi Haechan mengambil satu langkah mundur lagi. Jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang menganga.

Sebelum salah satu dari mereka sempat bicara lagi, ponsel Haechan berdering. Nomor tidak dikenal.

Dengan tangan gemetar, Haechan mengangkatnya. "Halo?"

"Haechan?" suara di seberang terdengar ragu, seperti orang tua yang ketakutan. "Saya... saya dulu supir taksi yang mengantar orang tua Anda malam itu."

Jantung Haechan seolah berhenti berdetak. Mark yang berdiri di sampingnya bisa merasakan tubuh Haechan menegang.

"Saya sudah mencoba melupakan semuanya. Mencoba hidup dengan rasa bersalah ini. Tapi saya tidak bisa..." suara di seberang terdengar bergetar. "Saya rasa... sudah waktunya Anda tahu yang sebenarnya."

"Bisakah kita bertemu?" Haechan mencengkeram ponselnya erat-erat sampai buku-buku jarinya memutih. "Sekarang?"

"Besok," suara itu menjawab cepat. "Jam 10 pagi di kedai kopi dekat-"

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di seberang, seperti pintu yang dibanting terbuka. Disusul bunyi sesuatu yang pecah, teriakan tertahan, lalu... sunyi.

"Halo? Halo!" Haechan berteriak panik ke ponselnya. Tapi sambungan sudah terputus.

Dengan tangan gemetar, ia mencoba menelepon balik nomor itu. Tidak aktif.

"Haechan..." Mark mencoba meraihnya lagi, tapi Haechan menggeleng keras.

"STOP!" suaranya pecah. "Jangan mendekat kalau kau tidak mau jujur padaku."

Tepat saat itu, pintu depan terbuka tanpa suara. Bubu berdiri di sana, sosoknya yang biasanya tegap kini terlihat rapuh. Wajahnya pucat pasi melihat pemandangan di hadapannya - ruangan yang berantakan, berkas-berkas yang berserakan, Mark yang membeku di tempatnya, dan Haechan yang berdiri dengan air mata mengalir di pipi.

Mata Bubu tertuju pada foto polaroid yang masih tergenggam erat di tangan Haechan, lalu beralih ke Mark yang kini menunduk dalam-dalam, seolah tidak sanggup membalas tatapannya.

"Sudah waktunya," Bubu berkata pelan, suaranya berat oleh emosi yang tertahan dan rahasia yang terlalu lama disimpan. "Kalian berdua, ikut aku sekarang."

Di luar, langit Seoul perlahan menggelap. Awan-awan kelabu bergulung di atas kota, seperti tirai yang siap dibuka untuk babak baru yang lebih gelap. Haechan menatap Mark, yang masih menolak untuk membalas tatapannya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka bersama, ia merasa begitu jauh dari kekasihnya itu.

.
.
.
Fulln't Sun.

Fulln't sun -END-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang