Fulln't Sun.
.
.
.Sudah tiga hari Haechan tidak keluar dari rumah. Tiga hari sejak dunianya hancur untuk kedua kalinya. Tiga hari berlalu dengan ponsel yang terus berdering — panggilan dan pesan dari Mark yang tak pernah ia baca, dari Tuan Jung yang mencoba menjelaskan, dari rekan-rekan kantor yang mulai khawatir.
Tirai jendela yang tertutup rapat, menciptakan kegelapan abadi yang selaras dengan kegelapan dalam hatinya. Di meja, secangkir teh yang sudah dingin berdiri tak tersentuh — hadiah dari Mark minggu lalu, teh favoritnya yang kini terasa seperti racun.
Ketukan di pintu memecah keheningan.
"Haechan?" Suara Jaemin terdengar dari luar. "Aku tahu kau di dalam. Buka pintunya atau aku akan menelepon petugas keamanan."
Haechan tetap diam.
"Na Jaemin di sini dengan kunci cadangan rumahmu," Jaemin mengancam. "Dalam hitungan ketiga, aku akan masuk. Satu... dua..."
Suara kunci berputar, dan Jaemin muncul di ambang pintu. Matanya melebar melihat kondisi ruangan itu — dan kondisi sahabatnya.
"Chan..." Jaemin berbisik, bergegas menghampiri Haechan yang meringkuk di sofa. "Aku sudah mencoba menghubungimu sejak kemarin. Mark memberitahuku... tentang semuanya."
Haechan tetap diam, matanya yang sembab menatap kosong ke depan.
"Kau harus makan sesuatu," Jaemin berkata lembut, mengamati bungkusan makanan yang masih utuh di meja — kiriman dari Mark yang tak disentuh. "Aku akan memasakkan sesuatu untukmu."
"Aku tidak lapar."
"Tiga hari, Haechan. Kau belum makan selama tiga hari."
"Bagaimana aku bisa makan?" Haechan akhirnya berbicara, suaranya serak. "Bagaimana aku bisa melakukan apapun saat... saat semua ini..."
Air mata kembali mengalir di pipinya. Jaemin segera memeluk sahabatnya erat.
"Dia membunuh mereka, Jaemin," Haechan terisak. "Mark... dia yang membunuh orang tuaku. Dan aku... aku mencintainya. Aku jatuh cinta pada pembunuh orang tuaku sendiri."
"Sshhh..." Jaemin mengelus rambut Haechan yang kusut. "Menangislah. Tidak apa-apa."
"Bagaimana bisa?" Haechan terisak lebih keras. "Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku? Mendatangiku... membuatku jatuh cinta... sementara tangannya... tangannya berlumuran darah orang tuaku..."
Jaemin memeluk Haechan lebih erat, membiarkan sahabatnya menangis di bahunya. Di meja, ponsel Haechan kembali bergetar — foto Mark terpampang di layar.
"Sudah berapa kali dia menelepon?" Jaemin bertanya pelan.
"Entahlah. Aku berhenti menghitung setelah panggilan ke-50." Haechan tertawa getir. "Dia juga mengirim bunga setiap pagi. Dan makanan. Dan surat. Dan..."
"Kau membaca suratnya?"
Haechan menggeleng, menunjuk ke arah tempat sampah yang penuh dengan amplop yang masih tersegel. "Untuk apa? Lebih banyak kebohongan?"
Jaemin menghela napas, menatap sahabatnya dengan sedih. "Bagaimana dengan kantor?"
"Aku mengajukan cuti sakit. Tapi..." Haechan menelan ludah. "Tuan Jung — ayah Mark... dia mencoba menemuiku. Dia mengirim pesan, mengatakan ingin menjelaskan semuanya."
"Dan?"
"Apa yang perlu dijelaskan?" Haechan tersenyum pahit. "Bahwa dia bersikap baik padaku selama ini karena rasa bersalah? Bahwa semua kebaikannya hanya untuk menutupi dosa putranya?"
Jaemin bangkit, berjalan ke dapur. "Aku akan membuatkanmu teh. Dan kau harus makan, sedikit saja."
Saat Jaemin sibuk di dapur, Haechan memaksakan diri bangkit dari sofa. Kakinya yang lemas membawanya ke kamar. Di sana, di atas meja, masih berdiri foto-fotonya bersama Mark — foto-foto yang dulu membuatnya tersenyum, kini terasa seperti pisau yang menusuk hatinya.
Ia membuka laci, mengeluarkan kotak berisi hadiah-hadiah dari Mark. Setiap benda memiliki kenangan — kenangan yang kini terasa palsu.
Cincin couple mereka. Jam tangan yang Mark berikan di bulan ketiga mereka berkencan. Syal rajutan yang Mark beli saat mereka berlibur ke Jeju. Setiap benda, setiap kenangan, kini terasa seperti bagian dari sandiwara besar.
"Haechan?" Jaemin muncul di pintu, membawa secangkir teh hangat. "Haechan-ah..." ia menghampiri Haechan yang terduduk di lantai, dikelilingi barang-barang pemberian Mark.
"Aku mencintainya, Na," Haechan berbisik, air matanya jatuh ke atas cincin di tangannya. "Aku sangat mencintainya. Tapi sekarang... setiap kali membayangkan wajahnya, yang kulihat hanya... hanya mobil yang menabrak mobil orang tuaku. Mark yang mabuk. Mark yang membunuh mereka..."
"Kau tidak perlu memutuskan apa-apa sekarang," Jaemin berkata lembut. "Kau bisa membenci dan mencintai seseorang di saat yang sama. Kau bisa marah dan rindu di waktu yang bersamaan. Tidak apa-apa merasa kacau."
"Aku ingin membencinya," Haechan terisak. "Aku ingin membencinya dengan seluruh hatiku. Tapi kenapa... kenapa masih ada bagian dari diriku yang merindukannya? Yang ingin percaya bahwa cintanya nyata?"
"Karena cinta tidak bisa dihapus semudah itu," Jaemin menjawab pelan. "Dan mungkin... mungkin cintanya memang nyata."
"Tapi apa itu cukup?" Haechan mendongak, matanya basah. "Apakah cinta bisa menghapus fakta bahwa dia membunuh orang tuaku? Bahwa dia berbohong selama ini?"
Jaemin tidak menjawab. Tidak ada jawaban yang tepat untuk pertanyaan seperti itu.
Ponsel Haechan bergetar lagi. Kali ini sebuah pesan suara dari Mark:
"Haechan... aku tahu kau membenciku. Kau punya setiap hak untuk itu. Aku monster. Aku pembunuh. Aku pengecut yang tidak berani menghadapi kesalahanku. Tapi kumohon... beri aku kesempatan untuk menjelaskan. Bukan untuk meminta maaf — aku tahu tidak ada maaf untuk apa yang kulakukan. Tapi setidaknya... setidaknya biarkan aku menjelaskan kenapa aku mendekatimu. Kenapa aku jatuh cinta padamu. Itu bukan sandiwara, Haechan. Itu satu-satunya hal nyata dalam hidupku..."
Haechan melempar ponselnya ke tempat tidur, tubuhnya bergetar hebat.
"Aku tidak bisa," ia berbisik. "Aku tidak bisa terus seperti ini."
"Apa yang akan kau lakukan?"
Haechan bangkit, berjalan ke meja kerjanya. Dari laci paling bawah, ia mengeluarkan sebuah amplop.
"Surat pengunduran diri?" Jaemin membaca tulisan di amplop itu.
Haechan mengangguk. "Aku sudah menulisnya kemarin. Aku... aku tidak bisa terus bekerja di sana. Tidak dengan Mark di sana. Tidak dengan Tuan Jung. Tidak dengan semua kenangan itu."
"Kau akan pergi?"
"Sepupuku di London sudah lama mengajakku ke tempatnya," Haechan menelan ludah. "Mungkin... mungkin sudah waktunya untuk pergi."
"Haechan..."
"Aku tidak bisa terus di sini," suara Haechan bergetar. "Setiap sudut Seoul mengingatkanku pada mereka. Pada orang tuaku. Pada Mark. Pada kebohongan ini. Aku perlu... aku perlu pergi."
Jaemin memeluk sahabatnya erat. "Kapan?"
"Minggu depan. Aku sudah pesan tiket." Haechan memejamkan mata. "Aku perlu memulai hidup baru. Di tempat di mana tidak ada bayangan Mark Lee. Di mana aku bisa belajar bernapas lagi."
Di luar, hujan mulai turun lagi — seperti yang terjadi sejak hari di pemakaman itu. Seolah langit pun tak berhenti menangisi kisah cinta yang berakhir dengan pengkhianatan terdalam.
"Apa kau akan memberitahunya?" Jaemin bertanya pelan.
Haechan menggeleng. "Biarkan saja. Seperti dia membiarkanku hidup dalam kebohongan selama ini."
Ketukan di pintu mengejutkan mereka. Haechan dan Jaemin saling pandang.
"Haechan?" Suara Tuan Jung terdengar dari luar. "Ini Paman. Kumohon, buka pintunya. Ada yang harus kuceritakan padamu... tentang malam itu. Tentang Mark."
Haechan memejamkan mata erat-erat, air matanya kembali mengalir.
"Mau kubukakan?" Jaemin bertanya lembut.
Haechan menggeleng. "Tidak ada lagi yang perlu kudengar dari keluarga itu."
Di luar, Tuan Jung masih mengetuk. "Haechan... Mark... dia mencoba bunuh diri tadi pagi."
Dunia Haechan seketika membeku.
.
.
.
Fulln't Sun.