Prolog

104 7 4
                                    

Wanita muda itu terus berlari di tengah gelapnya malam, sambil mendekap bayi mungil yang sedang tertidur pulas. Tanpa sadar, ternyata ia sudah mencapai tengah hutan. Ia terus berlari tanpa arah, tidak perduli kakinya membawanya melangkah kemana, yang penting ia bisa kabur dari mereka. Bayangan dibunuhnya orang yang sangat ia sayangi terlintas kembali diotaknya. Wanita itu berhenti sebentar untuk mengatur nafasnya yang memburu.

Tak lama, terdengar suara ringikan kuda dari kejauhan. Mendengar suara  itu, tubuh wanita itu seketika menegang. Ia kembali melanjutkan larinya. Bahkan sekarang lebih cepat dari yang sebelumnya. Tanpa memperdulikan bajunya yang sudah terkoyak, maupun alas kakinya yang sudah tidak berbentuk. Yang ia pikirkan saat ini hanya bagaimana cara menyelamatkan bayi tidak berdosa yang sedang dalam dekapannya. Suara kaki kuda yang beradu dengan tanah semakin terdengar.

Ia mencoba mencari cela untuk membebaskan bayi ini, dan terimakasih kepada Dewi Fortuna yang telah memberikannya pendengaran yang tajam. Ia mendengar suara gemercik air. Tentu saja itu suara aliran sungai. Ia berjalan menuju sumber suara gemercik itu berasal.

Dengan secepat kilat, ia mengambil daun yang ukurannya cukup besar, ia menaruh bayi di dalam dekapannya ke atas daun tersebut. Lalu mengecup lembut kening bayi tersebut sambil membisikkan sesuatu. " evlogiméni kóri"

Ia meletakkan bayi itu di atas aliran sungai yang cukup deras. Membiarkan bayi itu dibawa oleh aliran air, kemanapun aliran air itu membawanya, tentunya ia akan mendapatkan tempat dan kehidupan yang lebih baik. Ia segera pergi meninggalkan sungai itu. Saat hendak kabur, ternyata ia sudah di kepung oleh beberapa orang.

"Katakan dimana hartaku berada?" Tanya seorang lelaki sambil menodongkan pedangnya ke leher wanita itu.

"Cih! Lebih baik aku mati daripada memberitahu dimana bayi itu berada kepada seorang sepertimu!" Kata wanita itu menantang.

"Hm, baiklah kalau begitu. Karena kamu tidak ingin memberitahu dimana bayi itu, maka sekarang kamu sudah tidak berguna. Bergabunglah dengan orang yang kamu percayai," katanya sambil menancapkan pedangnya ke perut wanita itu. Tusukan pedang itu cukup dalam, sampai menembus bagian belakang tubuh wanita itu. Mata wanita itu membola.

Lelaki itu menarik pedangnya dari perut wanita itu, dan darah langsung muncrat mengenai muka dan pakaiannya. Sedangkan wanita itu sudah ambruk.

"Ck! Aku lebih suka pakaian ku tidak terkena noda darah." Katanya sambil berdecak kesal lalu pergi bersama teman-temannya yang lain meninggalkan wanita itu meregang nyawa.

"Setidaknya aku telah menepati janjiku," kata wanita itu sambil menyunggingkan senyumnya yang pucat. Ia terbatuk darah. Akhirnya penderitaan wanita itu berakhir sampai disini. Tubuhnya menjadi serbuk berwarna emas dan terbang menuju ke suatu tempat.

Unimaginable FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang