1. Pacaran VS Taaruf: Mana yang Lebih Menjamin?

28.8K 2.3K 690
                                    

Dengan mudah, kamu bakal menjawab, "Ya, jelas, taaruf!"

Sayangnya, kamu cuma bisa bilang itu kepada dirimu sendiri. Karena, jika kamu menyuarakannya, sedikit saja, orang-orang akan mengernyitkan keningnya kepadamu dan berkata, "Ya, realistis aja, sih. Kalau kamu pacaran, kan, kamu jadi lebih kenal dia; kamu jadi lebih bisa menentukan apakah dia cocok sama kamu; kamu sudah lebih bisa beradaptasi sama dia; dan, diniatkan serius aja. Jangan aneh-aneh."

Dan, kita tidak bisa mengelak: Itu terdengar seperti ide yang oke.

Sehingga kamu mungkin bertanya-tanya, "Apa aku pacaran aja? Tetapi, yang nggak ngapa-ngapain, murni pengin kenalan aja."

Oke, supaya adil, kita definisikan dulu apa makna berpacaran dan taaruf.

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, berpacaran—dengan kata dasar pacar—berarti bercintaan, berkasih-kasihan, bermesraan, bersuka-sukaan, khalwat. Sementara, taaruf berarti perkenalan.

Jadi, berdasarkan maknanya, segala hal yang berhubungan dengan "berpacaran" akan kuasumsikan sebagai: sering chatting, berduaan saja, saling mengirim kalimat penuh kode dan gombalan, ucapan selamat pagi rutin, mengajak ke sebuah kafe untuk berdiskusi dengan dalih, "Aku ingin mengenalmu lebih dalam." Atau, cara yang paling terlihat syar'i adalah tak pernah bertemu, hanya saling chat, dan mengingatkan hal-hal semacam:

Jangan lupa Isya-nya, ya, Ukhti. :)

Akhi, Subuh-nya di masjid, ya.

Sedangkan taaruf, berdasarkan maknanya, kuasumsikan sebagai perkenalan saja, sesederhana itu, sebagaimana yang tertera di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tak ada chatting yang intens, tak ada pesan berisi gombalan dan kode, tak merencanakan jalan berduaan. Berkenalan, sudah, sebatas itu. Dalam aplikasi di kehidupan nyata, taaruf itu menemukan calon yang akan dipinang (bisa minta dicarikan, kenalan dari keluarga atau kerabat, bisa dikenalkan), lalu mencari tahu tentangnya melalui orang-orang terdekatnya, menemuinya hanya untuk melihat kondisinya tanpa syahwat dan tentu ditemani perantara dan mahram calon wanita, dan sungguh-sungguh berniat meminangnya, kecuali menemukan sesuatu yang dirasa tidak cocok.

Jadi, pertanyaannya sekarang: Mana yang kelihatannya lebih menjamin untuk pernikahanmu kelak?

Mari kita bicara soal perasaan.

Tidak ada satu pun hubungan berpacaran yang tidak membutuhkan perasaan, dari kedua bela pihak. Coba, tanya pada dirimu sendiri: Apakah kamu mau memiliki hubungan dengan seseorang yang tak memaknai perasaannya? Oke, katakanlah, kamu memulainya dengan iseng-iseng, pada ujungnya, kamu pun akan jatuh dalam perasaan itu; dan, pasanganmu belum tentu merasakan demikian, dan kamu tak pernah tahu itu meski dia membohongi perasaannya yang sesungguhnya. Sehingga, tentu, ada perasaan yang dipertaruhkan dalam hubungan ini, dan kita hanya manusia yang tak pernah bisa menjamin apa yang terjadi, jadi, katakanlah, hubungan berpacaran ini kandas; bukankah sangat membuang energi untuk merasakan sakit hati lagi?

Iya, ada yang bilang: Itulah cinta, butuh pengorbanan, dan sakit hati lagi. Please, tidak ada sakit hati yang menyenangkan, apalagi yang sakit hati yang didasarkan pada hubungan yang belum resmi. Dan, luka akan selalu membekas. Proses move on itu butuh perjuangan yang, kadang-kadang, tak terelakkan. Jadi, buat apa menyakiti diri sendiri?

Iya, ada yang bilang: Biarkan ini jadi pelajaran dan mulailah dengan orang baru. Tetapi, bukankah ketika seseorang jatuh cinta lagi, mereka pasti lupa pada berbagai pelajaran dan nasihat yang telah mereka dapatkan dulu? Mereka jatuh cinta lagi, seperti orang yang baru merasakan cinta pertama, jatuh sejatuh-jatuhnya, dalam sedalam-dalamnya. Lalu, apa arti berpacaran jika siklusnya selalu berulang?

Setelah Menikah, Dia...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang