04.

22K 1.3K 526
                                    

Cause you were in my head when
I thought I lost my mind
khalid, Therapy.

❝Cause you were in my head whenI thought I lost my mind❞— khalid, Therapy

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo buat gue kaget, Gendra!"

Titan baru saja keluar dari pintu toilet dan Gendra yang berjalan menuju ke arahnya benar-benar mengagetkan Titan. Mereka berdua kini sedang berada di persimpangan.

Gendra tersenyum tipis. "Lagian jalan jangan nunduk terus, Titani." Lalu, tawanya terdengar. Wajah Titan di depannya masih terlihat ketakutan yang anehnya tampak lucu di mata Gendra.

"Gue lagi benerin seragam gue, oke?" Setelah mengatakan itu, Titan berniat untuk meninggalkan Gendra. Tetapi, suara laki-laki itu sukses mengurungkan niatnya.

"Udah ngerasa baikkan?" tanya Gendra kemudian.

Titan mengerti maksud Gendra. Ia menarik pelan napasnya. Lalu, kepalanya mengangguk perlahan. Kedua mata Titan lalu melihat ke arah depan sana, koridor lantai dua ini terlihat sepi. Jelas saja, Erlangga akan membunyikan bel masuknya sebentar lagi.

"Lo juga udah mikirin omongan gue kemarin?" Gendra bertanya lagi. Kali ini lebih hati-hati.

Pandangan Titan beralih lagi ke arahnya. Ia mengernyit. "Omongan yang mana?"

"Lo juga harus mikirin tentang perasaan Dina." Jeda sebentar. Gendra dapat melihat perubahan pada raut wajah gadis itu. "Karena apa yang bakalan lo dapetin, Titani? Nggak ada," lanjutnya.

Mendengar itu, Titan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lo gak ngerti apa-apa, Gen!"

"Try me," balas Gendra menantang. Titan memilih untuk diam, tidak ingin menjawab.

Semuanya udah terlanjur, Gen. Gue gak mau berenti. Gue gak bisa berenti.

Apa ini semua salah Titan yang menginginkan sesuatu yang bukan miliknya? Atau ini salah laki-laki itu yang dengan berhasilnya membuat harapan Titan menjadi semakin besar karena kehadirannya di saat Titan sangat membutuhkan seseorang dan selalu mengerti bagaimana dirinya ini?

"Tan, apa lo mau gue bantuin buat berpaling dari tuh cowok?"

...

Axa menghentikan pergerakkan Titan saat gadis itu ingin membuka pintu mobilnya. Saat ini sudah pulang sekolah. "Bentar-bentar. Lo gak nonton pertandingan gue kan tadi?" tanyanya langsung.

Di jam kedua memang ada pertandingan basket di lapangan indoor, Erlangga melawan Pertiwi. Axa ikut bermain di sana dan Titan tidak melihatnya.

"Lupa. Serius. Menang gak? Menang kan?"

Kepala Axa mengangguk. "Tapi gue ngerasa gak semangat pas tau lo gak nonton gue." Seketika ekspresi sedih yang dibuat-buat Axa keluarkan.

Titan langsung saja menampar pelan pipi laki-laki itu. Ia mendengus. "Lo ngarepin Dina, bukan gue! Udah ah, minggir gue mau pulang." Titan berusaha menyingkirkan tubuh Axa yang menghalanginya itu.

"Gue kangen temen-temen di Bandung, Tan."

Kalimat yang dikeluarkan Axa barusan berhasil membuat Titan menghentikan pergerakannya. "Gue juga kok, Xa."

"Gimana kalo weekend kita ke sana? Lo mau?"

"Gue belum bisa. Sori."

"Kenapa? Lo bilang lo kangen juga tadi. C'mon kita udah lama udah gak ngumpul." Desak Axa lagi.

Titan menyingkiran Axa untuk terakhir kalinya dan laki-laki itu akhirnya menjauh dari mobilnya. Tidak ingin menyahuti kata-kata Axa.

"Kenapa sih, Tan lo menghindar terus?"

"Serius ya, Xa. Sekali lagi lo ngedesak gue ke sana, gue sama sekali gak mau lagi kenal sama lo!" Setelah mengatakan itu, Titan masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan Axa.

"Padahal gue cuma mau lo ngelupain semua yang berkaitan sama Adit, Tan."

...

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Titan tidak bisa tidur. Sudah segala gaya macam tidur—dari menghadap ke kiri lalu ke kanan, menutupi seluruh tubuhnya sampai ke kepala dan masih banyak lagi. Tetapi itu sama sekali tidak membuatnya menutup kedua matanya.

Titan lalu melihat ke arah jendelanya. Gorden cokelat itu bergerak-gerak mengikuti arah angin, dan bisa dipastikan gadis itu belum menutup jendelanya.

Tangan Titan menyingkirkan selimut tebal putih itu dari tubuhnya. Ia lalu menapakkan kedua kakinya di lantai marmer yang dingin.

Malam ini sungguh sepi. Begitu sunyi. Tidak heran. Di rumahnya hanya ada dirinya sendiri.

Titan lalu menggeser jendela besar di depannya dan melangkahkan kakinya ke balkon. Dinginnya malam semakin terasa dingin saat tangannya menggenggam erat pagar besi.

Entah sejak kapan, kedua matanya sudah memanas. Dulu, jika ia tidak bisa tertidur, pasti laki-laki itu akan menemaninya—walau hanya lewat ponsel, laki-laki itu akan menunggunya hingga tertidur. Tetapi untuk sekarang, semuanya itu tidak pernah bisa Titan ulang kembali.

Tubuhnya mulai bergetar, ia ingin sekali menangis.

Rindu yang Titan rasakan mungkin tidak akan bisa membuat laki-laki itu kembali kepadanya. Untuk berharap pun, ia harus menyingkirkan kata itu jauh-jauh. Karena berharap adalah sesuatu kesia-sian untuk dirinya. Gadis itu kemudian menutup matanya rapat-rapat.

"Gu.. gue kangen lo, Dit."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ Axa ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ Axa ]

1.1 | fire ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang