part 10: Stone Age

193 45 16
                                    

Kamarku sudah agak lebih baik dari sebelumnya. Mata sudah tak lagi risih akan benda kotak berwarna coklat yang tersusun di pojok ruangan. Tirai bahkan sudah kuganti dan yang lama sedang kucuci. Ruang kamarku terasa lebih nyaman dan errr putih. Aku ingin tersenyum akan obsesiku satu itu. Semua hal yang berwarna putih akan selalu menjadi favoritku -kecuali mungkin benda tak kasat kau tau maksudku-.

"Wah noona benar-benar membereskan semuanya hari ini." Suara kecil Jimin terdengar saat badannya berdiri di depan kamarku yang saat ini pintunya sedang kubuka.

Di belakang bisa kulihat teman Jimin yang bernama bwi sedang mencari makan seperti biasa. Aku sudah cukup hafal akan hal itu, dan sudah terbiasa akan presensi laki-laki lain yang seumur -kukira- dengan Jimin bernama bwi. Nama yang aneh untuk manusia, tapi dari tingkah lakunya yang selama ini kuperhatikan,  dia bisa dibilang tak tampak dari ras manusia.

"Temanku datang. Hari ini dia harus membantuku menata beberapa barang yang akan kubuang juga. Bisa dibilang ini hari bersih-bersih ne noona?"

Aku tersenyum mengangguk, "apa benar temanmu namanya bwi? Dia bernama aneh"

Jimin tertawa. Aku memang sudah sering menanyakan ini padanya dan memang si bwi sendiri yang tak mengatakan apapun mengenai namanya. Aku sedikit menaruh curiga atas itu, bagaimana mungkin kau berteman pada seseorang yang tak seorang pun tau nama aslinya.

"Noona, kau yang membuat sup ini? Enak sekali" dan si empu nama datang dari belakang Jimin menatapku sumringah. Wajah bayi si Bwi tak mengizinkanku untuk berpikir buruk padanya lebih lama.
---
Walaupun tak ada kelas hari ini, aku masih tetap mengunjungi ruangan studio. Aku tak ingin mengatakan alasan yang dibuat hanya untuk membolos. Lagipula, aku sudah membereskan semuanya kemarin. Hari ini aku hanya akan datang dan meneliti lebih lanjut apa yang ada di studio.

Masih dengan posisi yang sama, laki-laki itu membelakangi pintu dengan wajah yang menatap layar komputernya. Aku mengerti akan berapa hal mengenai Yoongi sunbae berkat Hoseok kemarin. Dia satu tahun lebih tua dariku, memiliki orang tua yang tinggal di Daegu dan tidak memiliki banyak harapan untuk masa depannya sendiri. Dia hanya mencintai musik dan Hoseok mengatakan lebih pada obsesi daripada cinta.

Dia makan dari minimarket dekat kampus dan sering membeli roti dari kedai kopi tempat Hoseok bekerja. Jadi sekalian karena aku mampir, aku membelikannya kopi sebagai tanda terima kasih sudah menerimaku.

"Sunbae, Aku membelikanmu kopi." Kataku sambil meletakkan kopi di atas meja belakang badannya.

Seperti biasa dia masih duduk disana menggunakan headphone dengan pandangan masih di layar tanpa menatapku. Layarnya menampilkan beberapa balok abu-abu dengan garis oranye. Aku mengenalinya sebagai garis bar pada musik. Dia sedang mengaransemen lagu.

Tapi fokusku beralih pada satu gelas kertas kopi di samping keyboardnya. Dia sudah membelinya? Ahh.. kenapa aku repot-repot juga sih tadi membelikannya? Akhirnya aku berbalik untuk membuang kopi yang akan kuberikan padanya sebelum dia menolehkan kepalanya tiba-tiba padaku.

"S-sunbae"
Aku menatap arah matanya yang tertuju pada kopi yang baru kuangkat dari meja

Dia hanya berdiri menatapku yang masih ingin beranjak pergi. Tapi tubuhnya mulai bergerak dan tiba-tiba saja kopinya sudah berpindah tangan dari tanganku. Tanpa perkataan apapun dia melewatiku sambil menyesap kopi yang tadi kubawa. 뭐야..
---
Melambaikan tangan padaku, Jimin terlihat cerah dengan dandanan santainya berdiri di depan kedai kopi Hoseok.
"Wasseo" kataku menghampirinya dan kami berdua berjalan masuk.

Jimin mengantar laptopku yang tertinggal, hari ini due terakhir pengumpulan tugas dan aku dengan sangat pandai meninggalkannya di apartment. Kalau saja tak ada Jimin, aku harus kembali ke apartment dan kembali ke perpustakaan karena memang aku belum menyelesaikannya. Karena itu kami kemari, membelikannya sedikit makanan sebelum pulang.

"Kau sudah terlihat sangat tampan, Jimin" kataku melihatnya menata rambut sambil sesekali tersenyum dengan tampilannya sendiri

"Habisnya noona manis sekali. Aku tak mau terlihat jelek duduk denganmu" katanya tersenyum membuatku ikut tersenyum kecil. Belajar dari mana laki-laki ini menggombal.

Aku hanya tersenyum menanggapi sambil menyesap kopi yang mengepul dengan gambar hati seperti biasa. Aku mengitari pandangan dengan seluruh kaca yang menutup kedai ini dengan jalanan. Hujan mulai menggila bulan ini, penghujung Oktober yang dingin.

Kami mengobrol sebentar sambil beberapa kali kulihat Hoseok menatapku dari pojok ruangan. Kupikir tadinya dia memandang sesuatu yang ada di belakangku, ternyata tak hanya satu dua kali kami bertatap.
---
"Eodiseyo, sunbae?" Kataku menatap Yoongi keluar dari 'gua' saat aku masuk studio.

Dia hanya menatapku sebentar sebelum akhirnya mengambil jaket yang tadi kugantung dan berjalan pergi. Di luar hujan, bukankah lebih baik dia pakai payung? Walaupun jaket yang digunakannya berbahan parasit. Tanganku dengan cepat meraih payung dan berlari keluar menyusulnya.

Dia berhenti dan melirikku heran yang berdiri terengah, tersenyum aneh padanya. Tapi dia tak mengatakan apapun sebelum akhirnya melanjutkannya jalannya. Entah apa yang sedang dia rencanakan tapi dia memandang langit sambil berdiri di ujung lorong menuju parkiran.

"Sunbae, aku mengikutimu untuk memberikan ini." Kataku sambil memberikannya payung

Aku benar-benar berdiri disana tanpa ada niatan matanya menatapku walaupun satu detik. Kalau dia begitu bencinya padaku, kenapa dia mau repot-repot menerimaku?

Geram aku dibuatnya, sudah berapa kali aku mengajaknya bicara tapi menatapku saja ogah? Kutarik resleting untuk kurapatkan jaketnya dan menutup kepalanya dengan tudung. Matanya yang terlihat membesar heran kubiarkan menatapku. Kalaupun dia keras kepala untuk menerjang hujan, bukan tanggung jawabku kalau dia sakit.

Dasar es. Aku menghentakkan kakiku pergi sambil kutaruh payung di atas kakinya. Apasih yang salah dengan perempuan? Batinku geram.
---
To: mommy
Jadi umma, dia benar-benar tak menganggapku ada. Apalagi kalau kau lihat tatapan dinginnya. 헐 umma seperti ditatap manusia gua yang tak pernah tau peradaban! Sehari-hari aku seperti ini dan semakin rindu halmeoni..

Kukirim email singkat pembuka untuk umma karena beberapa hari ini dia tak kunjung membalas email-emailku. Apa mereka sesibuk itu hingga menatap komputer atau layar telepon saja tak bisa?

"Noona, ada Jin hyung mencarimu" kata Jimin dari luar kamar

"Arraseo"

Jin oppa datang tiba-tiba tanpa memberitahuku terlebih dahulu itu aneh. Aku melangkah keluar dan melihat Jin oppa berdiri disana tanpa ada niatan duduk. Jimin berdiri di sampingnya tersenyum ke arahku.

"Anja. Wae ireona?"  (Duduklah kenapa berdiri?) Kataku sambil berjalan mendekati mereka.

Aku tahu sesuatu terjadi. Pikiranku sudah terbang menghitam dan perasaanku mulai tak enak.

"Apa ada sesuatu di rumah?"

Tuhan.. raut wajah Jin oppa langsung berubah.

"Abeonim. Dia kecelakaan 2 hari yang lalu, Yuna dan sekarang, Pagi tadi dia dipindah ke ER. Eomonim ingin-"

Tak ada kalimat yang kudengar setelah itu. Aku terduduk dengan pandangan yang mulai menghitam. Walaupun aku tak pingsan, tapi ada rasa kosong setelahnya. Terakhir yang kurasakan hanya tangan yang menjaga badanku untuk tak segera jatuh ke lantai.

Tak ada waktu lebih panjang dari hari itu. Tak ada ruangan lebih hitam dari hari ini dan tak ada hal yang membuatku merasa oksigen begitu mahal. Begitu susahnya dadaku untuk bertahan bernafas. Hanya memohon bahwa Tuhan tak segera mengambil secuil kebahagianku secepat itu.
---

Kok rasa rasanya agak membosankan ya? Iyakah? Apa harus aku delete aja ini ceritanya?

Crack the Diamond (END)Where stories live. Discover now