Chapter 23

1.3K 278 55
                                    

Ryu Ye Rin POV

Minggu

Seharian ini aku tidak melakukan apa pun kecuali mengantar Sung Jin berlatih sepak bola. Yoon Gi dan Sang Hyun berada di rumah utama keluarga Min sehingga kami berdua berada pada titik kejenuhan yang teramat parah. Aku tidak tahu seberapa besar peran Min Yoon Gi bagi kehidupanku, atau fakta bahwa ia telah merubah hidup kami sejauh ini. Akal sehatku masih bisa bekerja normal, mengatakan bahwa pusat semesta bukanlah pria dingin—kekasihku—itu hanya saja seolah otakku mendadak ingkar.

Tidak ada Min Yoon Gi berarti tidak ada kebahagiaan. Tidak ada Min Yoon Gi berarti hari kami terasa kurang lengkap. Dan aku benci keadaan di mana aku mulai mempercayai Min Yoon Gi melebihi apa pun. Aku memutar mata melihat Tae Hyung menangis dramatis karena kalah main video game dengan Sung Jin.

Dulu aku terlalu percaya diri pada Nam Joon. Terlalu percaya bahwa pria itu benar-benar dilahirkan untukku. Namun ketika ia meninggalkanku begitu saja, dengan segala alasan yang tidak masuk akal, aku mulai ragu memupuk kepercayaan pada seorang pria. Dan Min Yoon Gi adalah orang pertama yang membuatku mengingkari janji tersebut.

Kuakui ia tampan, memang benar. Ia juga seorang penyayang meski cara penyampaiannya sedikit tidak masuk akal. Namun Yoon Gi juga ketus, terlalu sering berbicara kasar dan sombong. Dan aku tidak tahu mengapa hatiku memilihnya.

Tae Hyung melirikku sekilas tapi ia tidak mengatakan apa pun. Sung Jin kembali mengajaknya bermain game dan aku hanya di sini melihat interaksi mereka berdua. Aku tahu beberapa kali Yoon Gi mengirim pesan singkat dengan menceritakan kesehariannya. Dan aku membalas sama banyak dengan menceritakan betapa membosankan hariku tanpa ia.

Aku terlalu frustrasi. Aku hampir saja berpikir mungkin usiaku berkurang menjadi delapan belas tahun, atau bahkan mungkin bisa lebih kecil dari itu. Aku memang sadar memiliki seorang putra tapi saat sedang kasmaran seperti ini, aku tidak mengerti lagi dengan diriku sendiri.

Senin

Aku terkejut saat Min Yoon Gi mengatakan bahwa ia sudah resmi resign dari rumah sakit tempatnya bekerja. Ia berkata padaku tentang rumah sakit baru dan aku lega karena ia resign bukan semata karena alasan finansial. Aku mengecupnya beberapa kali. Ini terlihat seperti kami berdua sedang melakukan hubungan backstreet tanpa diketahui Sung Jin dan Sang Hyun.

Setelah mengantarkan anak-anak, Yoon Gi mengajakku menyebar undangan dan kekesalanku perihal kemarin sirna. Beberapa kolega Yoon Gi menanyakan tentang statusku dan aku sungguh tidak menyangka ia mampu jujur tanpa menutupi hubungan kami. Aku tersenyum sepanjang waktu. Bahkan kurasa tidak ada yang bisa mengacaukan mood baikku ini.

Selasa

Yoon Gi sedang membereskan kamar tamu saat aku sudah kembali dari rutinitas mengantar Sung Jin dan Sang Hyun. Ia mengatakan tentang keluarga kecil adiknya yang akan menginap mulai hari Jum'at. Dan sejujurnya aku sedikit terkejut. Aku masih mengingat pesta pindah rumah Yoon Gi berakhir tangis karena ingatanku pada Nam Joon. Sang Hyun menyebutkan nama Nam Joon dan jadwal penerbangan, dan itu sudah membuat moodku memburuk.

Aku tahu sikapku sangat berlebihan karena pemilik nama Nam Joon bukan hanya mantan suamiku. Namun aku tidak tahu mengapa sirine dalam diriku berbunyi nyaring seolah sesuatu buruk akan terjadi. Memutuskan untuk tidak peduli, aku membantu Yoon Gi membereskan kamar. Setidaknya hal ini membuatku sedikit melupakan rasa kalut yang tercipta.

Rabu

Sirine itu berbunyi lagi. Aku tidak tahu apa penyebab atau bagaimana perasaan was-was terpupuk begitu besar dalam hati. Aku adalah tipe orang yang selalu memikirkan segala sesuatu. Kata ayah, sifat ini menurun langsung dari ibuku dan mungkin saja memang benar karena sejak kemarin aku tidak bisa berhenti memikirkan adik Yoon Gi.

Memang aku tidak berharap Nam Joon yang dielu-elukan tersebut adalah mantan suamiku. Akan tetapi seolah hatiku memaksa untuk terus berpikir bahwa itu adalah Kim Nam Joon. Mantan suami sekaligus ayah dari Sung Jin. Dan saat Yoon Gi pulang dari jadwal pertemuannya bersama pemilik event organizer, perasaanku semakin jatuh ke dasar jurang.

Ia menceritakan padaku tentang Fawn dan suaminya yang luar biasa mencintai wanita itu. Yoon Gi mengatakan tentang cara melamar Fawn dan juga tentang kecocokanku jika bertemu sang adik. Aku tidak bisa berkutik selain mengiyakan juga menjawab antusias. Namun entah mengapa aku tidak bisa mengatasi kekalutan ini begitu saja.

Kamis

Puncak kekalutanku terjadi hari ini. Saat di mana Yoon Gi memintaku ikut serta menjemput Fawn. Aku tidak tahu mengapa aku justru mengatakan setuju tanpa berpikir dua kali. Dan seakan menyesali jawaban, perasaan tidak enak ini terus saja menyelubungi bahkan hingga Yoon Gi menawariku menonton film.

Aku pernah melakukan kegiatan seperti ini bersama Nam Joon saat ia tidak memiliki jadwal terbang. Kami selalu memilih film berat seperti action atau fantasy dan sangat jarang menonton film romantis. Maka dari itu aku tidak bisa mengenali isi rak Yoon Gi yang kebanyakan diisi film romantis dan begitu sial karena aku harus menentukan pilihan.

Aku memilih judul dengan acak dan tiba-tiba saja merasa begitu bodoh karena cerita di film sama seperti apa yang kualami. Hanya saja bedanya jika suami wanita di film itu sudah meninggal, mantan suamiku justru pergi bertemu wanita lain. Aku menangis seperti wanita bodoh. Beberapa kali menangis sepanjang film diputar dan bahkan tidak mempedulikan reaksi Min Yoon Gi sama sekali.

Setelah film selesai diputar bahkan hingga saat di mana kami berempat berangkat ke stasiun, aku seperti masih berada dalam batas antara masa lalu dan masa depan. Aku tidak akan berpikir ulang jika seorang menanyakan masa depanku, bahwa sisi itu akan diisi dengan Min Yoon Gi, Sung Jin dan Sang Hyun yang nantinya bertumbuh besar serta anak-anak kami berdua kelak. Namun di masa lalu... aku masih memiliki kisah yang belum selesai. Masih memiliki tanggungan beban untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak langsung yang Sung Jin berikan.

Sang Hyun benar-benar antusias menceritakan sang sepupu pada Sung Jin. Aku tidak bisa tidak tersenyum karena hal itu. Membayangkan bagaimana putraku mendapat satu lagi teman baru sedikit mengobati risau. Aku menghela napas. Terus menerus mensugesti diri dengan pikiran-pikiran positif.

Namun hal itu tidak bertahan lama karena apa yang kutakutkan seolah benar-benar dikabulkan oleh Tuhan.

Sang Hyun memanggil nama sang sepupu kuat-kuat. Disusul lambaian tangan dan ajakan pada Sung Jin untuk berlari menyusul Teo di depan sana. Sebenarnya aku menderita minus jadi aku tidak bisa melihat wajah ketiganya dengan jelas. Hanya saja seolah sudah hafal dengan sosok itu lebih dari siapa pun, aku menegang di tempat. Bahkan tidak sengaja mengumpat dan menggumamkan nama Nam Joon cukup keras.

Hatiku benar-benar teriris. Kakiku lemas bahkan sekadar bergerak menyusul Sung Jin, Sang Hyun dan juga Yoon Gi. Namun aku tetap memaksakan diri. Memaksa bersikap baik-baik saja meski nyatanya hal ini seperti disambar petir di siang hari.

Netraku tiada henti menatap Nam Joon. Begitu pula Nam Joon yang tampak membelalak tidak percaya dengan situasi. Anak-anak cepat akrab satu sama lain dan aku hanya mampu meringis takut-takut jika kemiripan Sung Jin dan Nam Joon disangkutpautkan.

"Ini Ye Rin, kekasihku. Dia sangat haus ilmu jadi akan sangat cocok jika mengobrol dengan kalian." Yoon Gi tersenyum menepuk pundakku. Anak-anak tidak mendengarkan ucapan Yoon Gi jadi kami berdua tidak perlu khawatir tentang status. Aku tersenyum, membungkuk di hadapan Fawn dan Nam Joon dengan perasaan kacau.

"Salam kenal," ujarku memasang senyum terbaik. Aku tidak tahu apakah senyumanku berhasil termanipulasi dengan baik atau justru ringisan yang keluar. Ekspresi Nam Joon tidak berubah. Masih tetap membelalak tanpa berniat memberikan senyuman padaku.

"Hai, Ye Rin! Aku sudah mendengar cerita kakak tentangmu." Fawn mengulurkan tangannya dan segera kutanggapi dengan jabatan tangan. "Well, salam kenal, Calon Kakak Ipar. Ini suamiku Nam Joon."

Aku tersenyum lagi saat Nam Joon diminta untuk berjabat tangan denganku. Dan saat tangan kami bersinggungan kembali untuk pertama kalinya, seolah ada magnet yang membuatku tidak ingin melepaskannya. Atau mungkin tidak hanya aku saja yang merasakannya karena kami berdua saling beradu pandang beberapa detik.

"Hei, kenapa kalian memiliki dua lesung pipi yang sama?" Suara keras Sang Hyun membuyarkan acara jabat tangan kami. Hatiku seakan kembali tertimpa bebatuan keras. Pria kecil itu menunjuk Sung Jin dan Teo yang sialnya sama-sama memiliki dua lesung pipi.

To Be Continued..

Under These Skies #1 ✔Where stories live. Discover now