Pendidikan.
Pendidikan.
Pendidikan.
Itulah yang selalu ada dipikiran Grace saat ini dan sampai kapan pun. Dia sudah sejauh ini. Diumurnya yang akan menginjak 16 tahun, dia sudah meraup banyak beasiswa. Itu semua semata mata untuk cita-cita yang selama ini menjadi harapannya dan mamanya. Menjadi seorang dosen dengan gelar profesor.
Tangannya meliuk liuk menulis beragam rumus fisika di notes biru lautnya. Liburan panjang selepas kelas sembilan tak membuatnya berhenti belajar. Jalur undangannya membuat Grace tidak mau membuat orang-orang kecewa. Dia harus memberi yang terbaik.
Ia begitu fokus dengan rentetan rumus dan teori-teori yang ia tulis sampai ketukan di pintu kamarnya membuat Grace berhenti menulis.
"Ya?"
"Waktunya makan malam," suara lembut mamanya membuat Grace baru sadar bahwa sudah lebih dari tiga jam lebih dia berkutat dengan catatannya hingga ia lupa hidangan makan malam.
"Iya sebentar, Ma" Grace mengemasi catatannya. Menutup pena dan bergegas ke meja makan bersama kedua orang tua dan kakaknya.
Di meja makan semua telah menunggu. Bahkan, kakaknya-Dominic sudah sampai mengetuk-ngetuk piring dengan sendok saking bosannya menunggu Grace turun. Grace tersenyum kaku sebagai permintaan maaf. Ini bukan kali pertama dia terlambat makan malam karena sibuk belajar.
Grace menghempaskan pantatnya di kursi kosong disebelah mamanya. Setelah papanya memimpin doa mereka pun larut dalam hidangan makan malam. Tidak ada yang bersuara selain bunyi sendok dan piring yang bergesekan.
"Belajar lagi, hm?" suara bariton milik Nova yang notabenenya papa Grace dan Dominic memecah keheningan di meja makan. Grace tau pertanyaan itu ditujukan untuknya, walau papanya tidak menyebut kepada siapa kalimatnya ditujukan.
"Iya, Pa" jawab singkat Grace. Sejujurnya ia tau kemana jalan pembicaraan malam ini. Ini semua terlalu mudah untuk ditebak oleh gadis cerdas sepertinya. Sejak awal makan malam ia menyadari ada sesuatu yang berbeda. Keadaan ini tidak seramah biasanya. Terlalu tenang, pikir Grace.
"Menurut kamu, ini tidak terlalu berlebihan untuk seukuran gadis sepertimu?" tanya Nova tanpa mengalihkan tatapannya dari piring putihnya. Dari nadanya, Grace tau itu tersirat rasa kesal, jenuh, dan kecewa. Hal itu membuat Grace sedikit menundukkan kepalanya. Ia tau sejak dulu papanya kurang mendukung bahkan bisa dibilang tidak mendukung pada cita-citanya.
"Pa, jangan bicarakan in-"
"Papa lagi bicara sama Grace bukan sama mama," ucapan Sara terpotong saat suaminya menghardiknya. Hal itu membuat Sara bungkam dan memilih tidak melakukan apa-apa."Engga, Pa. Ini semua kan biar bisa nggapai cita-citaku dari dulu. Aku juga ngelakuinnya seneng kok, Pa. Aku ga terbeban apapun," jawab Grace semantap yang ia bisa berharap bisa meluluhkan hati papanya.
"Usia empat tahun kamu bahkan udah belajar perkalian, waktu kamu kelas tiga cara belajarmu melebihi kemampuan anak kelas enam. Itu kurang wajar, Grace. Papa memang sedikit bangga dengan kecerdasan kamu. Tapi, kecerdasan kamu itu membuat kamu beda dari anak-anak lain. Bisa kamu bersikap wajar seperti remaja lain?"
Badan Grace menegang, papanya sendiri bilang bahwa dia tidak wajar. Kerap kali dia mendengar papanya bilang dia aneh, dan sekarang telinganya harus kembali diisi dengan kalimat kalimat itu. Otak cerdas Grace terus menstimulasi agar dia bisa mengendalikan dirinya sebaik mungkin.
"Ini pilihanku, Pa" jawab Grace lantang.
"Remaja lain seusiamu di liburan seperti ini menghabiskan waktu dengan teman-teman, sementara kamu? Berkutat terus pada notes kumal di kamar. Mana teman-temanmu, Grace?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Professor
Teen Fiction"Yang penting itu bukan bacotan gue di sini. Tapi kehadiran gue di sini buat lo." - Josua Aregra 🍁🍁 Menceritakan perjalanan SMA Gracia Emmanuella yang terasa baru baginya. Dimana ia mengenal dunia lain selain 'belajar' dan 'nilai'. Laki-laki itu...