Bagian 3

322 23 3
                                    


Emilia

Aku masih ingat, ketika papa mengajakku mengikuti gelombang rakyat Timtim untuk mendengar pidato Xanana.

"Kita bertemu dalam situasi yang penuh penderitaan." Begitulah Xanana membuka pidatonya. "Kita masih mencari saudara-saudara kita yang hilang. Kita akan memanggil saudara-saudara kita yang masih jauh untuk membangun sesuatu yang baru."

Aku berusia tiga belas tahun saat itu. Namun aku tahu, apa yang dikatakan Xanana untuk memanggil saudara yang masih jauh itu tak akan pernah terjadi pada diriku.

Ketika orang-orang di lapangan sebagian saling berpelukan dan terisak-isak, aku pun berkali-kali mengusap air mata dengan lengan bajuku. Sementara tangan kananku berkeringat dalam genggaman papa.

Saat itu, ingin rasanya aku terbang dan menyusul di mana mama dan saudara-saudaraku berada. Bahkan, ketika orang-orang membakar semangat dengan meneriakkan; "Viva Timor Leste!" aku hanya terpaku. Aku tidak mengerti apa yang akan terjadi setelah itu. Barangkali, selamanya aku akan hidup bersama papa dan benar-benar tak pernah lagi bertemu mama dan saudaraku.

"Heh!" Abilio menyikut lenganku.

Kenangan itu pecah, dan hilang begitu saja dari lamun.

"Ya Tuhan kau melamun terus," Abilio membuka permen dan mengangsurkan kepadaku. "Biar tidak kerasukan."

Aku tertawa tanpa suara, meraih permen di telapak tangan Abilio.

Ketika pesawat mulai lepas landas meninggalkan bumi Loro Sae, semangatku seakan ikut meninggi. Sekarang aku hanya tinggal menghitung mundur jarak saja, untuk bertemu dengan orang-orang yang sudah bertahun-tahun pergi dari hidupku.

Dulu, aku sering bermimpi perihal mama, Carolin dan Antoni. Kadang mereka seakan berkumpul bersama di tengah ladang, memetik biji-biji kopi. Tapi begitu karung-karung terisi, mama dan kedua saudaraku mendadak lenyap. Aku sendirian di tengah ladang. Lalu pohon-pohon pelindung seakan menjulur, menutup semua langkahku. Aku berteriak-teriak memanggil mama, Antoni dan Carolin. Tapi yang muncul kemudian adalah papa sambil membawa segelas air putih.

"Kau lupa berdoa."

Biasanya baru keesokan harinya aku bercerita dengan papanya perihal mimpiku

"Mungkin, kalian saling merindukan. Tuhan memberikan pertemuan lewat mimpi."

"Tapi kenapa mereka selalu menghilang? Apakah itu pertanda buruk?"

"Kamu harus percaya mimpi-mimpi yang baik. Kepercayaanmu akan menjadi harapan."

Selalu, selalu begitu kalimat papa setiap aku cerita perihal mimpi-mimpi yang sama.

Tahun-tahun berikutnya, seiring Timor Leste yang mulai bangkit dan tumbuh, perkembangan kopi di negeri ini memberi harapan besar pada masyarakat sekitar. Mereka yang bertahan merawat kebun kopi pasca suasana perekonomian yang tidak menentu, akhirnya mulai memetik hasil.

Papa memang tidak bekerja di kebun kopi. Dia menjalani peran sebagai pengepul dari petani. Mencari pembeli yang bisa menawar dengan harga bagus. Hasil kerja itulah yang kemudian membawa kehidupan kami membaik. Aku bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi.

Tetapi, pertanyaan-pertanyaan perihal mamaku tak pernah berubah. Semakin dewasa, aku semakin ingin tahu, apa sebab yang membuat mama begitu keras meninggalkan papa. Lelaki yang begitu sempurna menjalankan peran sebagai ayah sekaligus sebagai ibu. Sesungguhnya, aku tak pernah mendapati cela dari lelaki itu.

Sebab itulah, dulu waktu kuliah, aku pernah diam-diam pergi ke Atambua, ke tepi sungai Talau tempat mukim para pengungsi eks Timor Timur. Aku menemui pengurus di sana untuk mencari apakah ada daftar nama keluargaku. Namun, aku tidak menemukannya. Tidak pernah ada nama mereka. Kenyataan itu memberi pukulan menyakitkan jauh di lubuk hatiku.

ESPERANSA [Tamat]Where stories live. Discover now