Bagian 7 (selesai)

419 36 17
                                    

    “Emili?” Papa nampak terkejut dengan kedatanganku. “Kau tidak memberi kabar.”

Hanya beberapa hari aku meninggalkannya. Tetapi papa nampak lebih tua. Matanya cekung dan merah. Aku yakin papa memikirkan bagaimana pertemuanku dengan mama. Atau justru pertemuannya denganku?

            “Papa mengkhawatirkanmu.”

Aku tidak menjawab.

            “Papa minta maaf.” 

Aku masih diam.

“Kau boleh menghukumku apa saja.” Suara itu serak dan dalam. “Aku memang layak dihukum.”

“Apakah aku bisa bertemu dengannya?” Ucapan itu meluncur begitu saja, seperti bukan suaraku.

“Helen?”

Jadi namanya Helen?

“Setelah kau baca ini.”

Aku menahan napas. Papa membuka kotak kecil di sampingnya. Sepertinya dia sudah menyiapkan itu sebelum aku datang.

“Helen titip ini. Dia memintaku memberikan padamu, kapan pun kau siap.”

Surat. Aku lelah mendapat pesan secara tidak langsung seperti ini. setelah papa, lalu wanita bernama Helen. Apakah rasa bersalah memang membuat orang tak berani bicara secara langsung?

Didorong rasa panasaran, aku menerima surat bersampul coklat yang disodorkan papa. Kulepas pengaitnya, lalu menarik isinya. Aku menghela napas panjang, membuka lipatan itu dan menemukan tulisan tangan tegak bersambung.

‘Emilia’

‘Sesungguhnya, aku tidak tahu, harus memulai surat ini darimana. Tetapi, kalau waktu bisa diulang, tentu aku tak akan melakukan hal bodoh dalam hidupku. Aku kelas tiga SMA ketika jatuh hati pada Faustino. Kami bertemu di pesta pernikahan saudaraku. Ada alkohol dalam pesta itu. Dan dari sana kesalahan bermula. Kesalahan memalukan yang akhirnya, kau yang harus menerima akibatnya.’

‘Aku memang salah. Kehadiranmu kuanggap sebagai hukuman dari Tuhan atas norma yang kulanggar. Kujalani sembilan bulan dalam pengasingan. Semua demi keluarga besar yang kehormatannya telah tercoreng karena ulahku.’

‘Setelah kau lahir, aku tidak diizinkan melihatmu. Sama sekali tidak. Aku memohon untuk mendekapmu sekali saja, tapi keluargaku melarang. Lagi-lagi, aku menerima itu sebagai hukuman.’

‘Empat bulan berikutnya, aku harus kembali sekolah. Aku masuk asrama. Kami sekeluarga pindah ke Surabaya.’

‘Aku ke Dili awal 99. Mencarimu. Saat itu aku ingin  membesarkanmu. Aku ingin menebus kesalahanku. Tapi Faustino melarang. Dia tidak ingin menyakitimu. Faustino membawamu bertemu denganku dengan syarat, aku hanya boleh melihatmu dari jauh.’

 ‘Beberapa waktu lalu Emilia, aku kembali lagi. Ternyata Faustino belum mau membuka rahasia perihal dirimu. Tapi dia mengijinkan aku menemuimu di toko bukumu. Tentu saja aku datang sebagai pembeli.’

‘Kau ingat, wanita  dari Indonesia yang meminta foto denganmu sebagai bukti persatuan dua negara? Itu aku.’

Aku mengalihkan pandangan dari surat itu. “Toko buku?” tanyaku.

“Hampir setahun lalu,” jawab Papa.

Meski aku dan Abilio kerja sama untuk toko buku itu, tapi kesibukan mengajar membuatku jarang bisa ke sana. Aku mengingat-ingat kapan ada seseorang yang mengajakku berfoto?

Lalu sekelebat adegan hadir di ingatanku. Tidak begitu jelas wajahnya. Tapi aku ingat seorang wanita tersenyum, dan memintaku foto bersama. Aku sama sekali tidak berpikir apapun. Jadi, wanita itu tempat aku mendekam selama sembilan bulan sebelum hadir ke dunia?

‘Aku tidak tahu, apakah aku pantas mendapat maafmu. Tetapi jika suatu hari kau mau bertemu denganku, itu sebuah kemewahan dan hadiah besar bagiku. Tidak peduli kau memandang bagaimana, dan memanggilku apa. Aku berharap, kesempatan itu masih ada.’

‘Kapan pun itu, kau bisa menghubungi emailku…’

Seperti halnya setelah mendengar rekaman pengakuan papa, aku meringkuk di sofa tanpa bicara. Papa juga tak bersuara. Berhari-hari kami saling diam dalam kesunyian canggung. Aku enggan menyapa papa. Papa juga tak bertanya kenapa aku diam.

Berulang kurunut kepingan pengakuan mama, pengakuan papa, pengakuan Helen.

Dalam perjalanan ke Bali, Antoni bilang padaku; “Sebagaimana sebagian orang menjadi ujian bagi lainnya, sebagian lagi adalah perantara takdir bagi  yang lain. Kau, aku, Carol…”

Mungkin benar kata Antoni, bagi mama ini adalah ujian. Bagi Papa dan Helen mungkin juga benar ini adalah hukuman dan jalan menuju perbaikan bagi hidup mereka, hanya Tuhan yang tahu. Tapi bagaimana pun juga, papa telah menunjukkan penyesalannya. Merawat dan menjagaku dengan baik. Menyimpan rahasiaku mungkin sekilas tidak adil, tapi menahanku untuk tidak menyerahkan pada Helen kurasa cukup bijak.

Aku sungguh tidak menyangka perjalanan ke Sambas yang penuh harapan, justru membuka tabir besar dalam kehidupanku. Mama benar, sebagian rasa bersalah tersandang selamanya pada diri seseorang. Papa juga mengakui itu. Dan aku, tidak ada yang membahagiakan sama sekali melihat papa nampak tersiksa dengan diamku.

Ketika Tuhan mengijinkan aku mengetahui perihal hidupku, layakkah aku membalas dengan membangun jarak dan menyulut dendam pada orang yang telah berbuat baik padaku? Seharusnya aku belajar dari mama, yang berusaha melapangkan hatinya.

“Pa,” Aku menyentuh pundak papa yang mencabuti rumput di halaman. Dia nampak terkejut. “Ayo kita sarapan.” Lalu tatapannya berubah lega.

“Terima kasih, Mili.”

Kami minum teh dan makan paun yang baru saja kubeli.

“Carolin jadi guru, Antoni jadi petani yang rajin.” Aku berusaha mencairkan suasana. “Dan mama masih menjahit.” Aku menatap papa, tersenyum melihatnya nampak gugup saat kusebut kata mama. “Mereka semua menitip salam untuk papa.”

“Ya.” Papa mengangguk.

“Mungkin aku akan menghubungi Helen, kapan-kapan.”

“Emili.” Lelaki itu menaruh cangkirnya. “Papa sungguh-sungguh minta maaf.” Aku menangkap ketulusan pada dalam matanya.

“Ya, Pa. Aku belajar banyak hal dari mama.”

“Itu mengapa aku memintanya yang bercerita kepadamu.”

Aku berdiri, menggeser kursi dan menghambur ke pelukan papa.

“Terima kasih. Esperansa ne’e sei iha,” harapan itu masih ada, bisik papa. Benar kata mama, memaafkan itu melegakan, seperti kembali ke rumah setelah pengembaraan yang melelahkan.[SELESAI]

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 27, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ESPERANSA [Tamat]Where stories live. Discover now