Chapter 23

1.8K 270 18
                                    

Eleven mendengkus, menyadari sindiran dari ucapan itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Eleven mendengkus, menyadari sindiran dari ucapan itu. "Masa kecilku tidak menarik," elak Eleven menghabiskan sendok terakhir sarapannya sebelum meminum kopi hitam yang disuguhkan. Begitu cairan hitam itu menyentuh lidah, bau khas kopi langsung menyebar harum dalam rongga mulutnya, membuat Eleven terdiam khidmat. Sungguh berbeda dengan kopi pasir milik kantor polisi. Dia menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari cangkir putih di tangannya, memenuhi paru-paru dengan wangi yang begitu menyenangkan. Dia berharap dapat menyesap kopi sebaik itu setiap pagi.

Spade menyunggingkan senyum tidak yakin sambil menatap Eleven, membuat polisi itu merasa bahwa lagi-lagi Spade menggunakan sihir untuk memaksa Eleven menuruti maunya. Pria itu menghela napas dalam, membutuhkan ketenangan dari bau kafein.

"Aku juga seorang anak angkat."  

Spade tidak menunjukkan perubahan ekspresi mendengar kalimat pertama muncul dari mulut Eleven

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Spade tidak menunjukkan perubahan ekspresi mendengar kalimat pertama muncul dari mulut Eleven. Dia menatap pria besar di hadapannya tanpa berekspresi, hanya menunjukkan minat yang tinggi terhadap lawan bicaranya. Di lain pihak, Eleven menopang berat badannya di kedua lutut, membuat dirinya duduk menunduk. Mata coklatnya memandang kosong ke arah lantai berkarpet biru tua berperedam. Dia menghela napas berat. Sebenarnya tidak terlalu nyaman untuk berbagi cerita dengan orang lain. Sudah lama sekali masa-masa itu berlalu dan dia masih berusaha meredam mimpi-mimpi yang sering kali muncul. Kilasan-kilasan tentang saat terburuk dalam hidupnya. Dia sekali lagi menarik napas sebelum membuka mulut.

"Aku lahir di kawasan Doorey." Rasanya ada beban yang terlepas ketika dia mengatakan hal tersebut. Dia nyaris tidak pernah menyinggung asal usulnya kepada siapa pun di kepolisian, merasa mereka yang hidup untuk keadilan tidak akan benar-benar bisa memandangnya setara bila mengetahui siapa dia. Namun, dia merasa aman dengan Spade, mungkin karena dia sendiri tahu bahwa pria itu juga bernasib sama dengannya. "Aku tidak tahu siapa ayahku dan aku hidup dengan ibuku yang berusaha menghidupi kami berdua."

Spade masih tidak berkata apa-apa. Iris berwarna toska itu meredup tanpa perubahan ekspresi. Topengnya kembali terpasang. Eleven tidak bisa membaca Spade terlalu banyak tapi berbeda dengan sebelum-sebelumnya, dia tidak terlalu mempermasalahkan. Dia memutuskan untuk percaya pada Spade dan fokus pada kasus ini. Bukan hanya sekedar untuk memecahkannya tapi juga karena tidak ingin Spade kehilangan nyawa.

[END] Eleven SpadeWhere stories live. Discover now