Bayangan

31 1 2
                                    



Bught

"Lo pikir lo hebat?!"

Satu lagi tendangan melesat mengenai perutku. Sial, sakit sekali. Kenapa aku selemah ini? Melawan mereka yang justru membuatku terkapar di tanah, dasar berandalan!

Ahaha, silahkan tertawa. Aku memang pantas mendapatkannya, mana ada tikus mengutuk tikus? Hanya akulah tikus penghianat itu, lemah, bahkan hina. Aku bukanlah apa-apa setelah keluar dari kumpulan bedebah itu, sial aku jadi mengingatnya.

Menyesal? Hell no! Kecuali saat aku terlihat lemah. Mereka membuatku tampak kuat, membuatku ditakuti seluruh penghuni sekolah, membuat mereka semua tunduk. Namun, malapetaka mendatangiku saat berusaha untuk keluar dari sana. Caci bahkan makian sudah biasa menurutku sekarang, bahkan pukulan tadi tidak seberapa. Memang sakit, bahkan sangat, tapi apa yang dapat kulakukan kala sesuatu telah menyadarkanku?

Tapi, kalian salah jika mengira aku akan menjadi pria baik-baik. Setelah memutuskan keluar dari sana justru membuatku semakin menjadi. Aku benci mengingat diriku begitu bodoh berpikir untuk keluar. Menjadi bualan sekolah, menjadi sampah sekolah. Apa yang membuat siswa beasiswa sepertiku menyia-nyiakan sebuah kehormatan di hadapan penghuni sekolah? Rasa iba? Aku bahkan ragu aku memiliki hal seperti itu.

"Mau kemana, lo?"

Kuhempaskan lengannya yang seenaknya mengalung di bahuku. Berani sekali dia bersikap seperti ini setelah semua yang dilakukannya. Aku tak dapat berpikir di mana letak kemaluannya. Ah.. Ia tidak memilikinya kurasa -sama sepertiku-.

"Lah, lo kenapa? PMS?"

"Cowok kagak PMS, dungu!"

Ia terbahak meninggalkan dangusan kesal dari bibirku. Segera kulangkahkan kakiku cepat meninggalkannya, percuma berbicara dengan orang sedungu dirinya.

"Woy, Vin!"

"Mama nyariin lo." Lanjutannya menghentikan langkahku sejenak sebelum kembali melangkah dengan raut semakin suram, topik ini adalah yang paling kubenci.

"Dia kangen sama lo, Kevin. Gua minta tolong lah.. Buat kali ini aja. Please temui dia."

Kangen? Alasan yang buruk, Rey. Tahu kok semua itu hanya akal-akalan otak pintarmu. Aku tahu aku memang tak sepintar kau, tapi setidaknya aku amat peka dengan keadaan. Alasan itu hanya bertujuan membuatku kembali pulang dan membuatku kembali terkurung di dalam istana yang gila akan nilai.

"Mama sakit."

Aku bingung kenapa kakiku terasa kaku. Kenapa kata-kata Reyhan membuatku berhenti. Tidak, tidak boleh. Mereka bukan lagi keluargaku, setidaknya setelah aku kabur dari rumah akibat kegilaan mereka semua akan kesempurnaan. Untuk apa aku peduli saat mereka tak pernah memandangku?

"Vin, gua mohon.. Kali ini aja."

"Lo pikir gua mau kayak gini, Kak? Engga! Tapi, apa daya gua yang cuma hidup sebagai bayangan lo? Gua juga mau diakui sebagai diri gua sendiri, sebagai Kevin, bukan sebagai bayangan si sempurna Reyhan. Ngerti lah lo perasaan gua!"

Gila, aku pasti sudah gila mengatakan semua ini kepadanya. Tapi, bagaimana lagi aku dapat menahannya jika pria sempurna itu selalu saja memancingku? Aku muak.

"Udahlah percuma ngomong sama lo. Oh ya, makasih buat semua aduan lo yang bikin gua dikeroyok. Gua harap kalian bisa bahagia tanpa gua."

"Kevin! Lo salah paham!"

Dan semua itu benar kenyataannya, aku salah paham akan segalanya. Mama dan Papa tidak melakukan semua ini tanpa alasan, mereka melakukan semua ini karena sebuah alasan. Kakek, beliau amat membenci ibu kandungku yang ternyata bukanlah Mama. Aku adalah buah dari kelalaian Papa dahulu. Jadi, untuk menutupi segala kemungkinan aku ketahuan, mereka menuntutku untuk tampak sebagaimana sempurnanya keluarga mereka.

Satu hal yang membuatku semakin membenci diriku. Aku terlambat mengucapkan maaf, bahkan di akhir helaan napasnya. Aku adalah anak terbodoh di dunia, walau ia bukanlah ibu kandungku, ia adalah ibu paling sempurna bagiku. Entah apa yang membuatku berkata membencinya dahulu, mungkin emosi sedang menguasaiku saat itu. Tapi, sungguh itu bukanlah siratan hatiku sebenarnya.

"Udahlah, Vin. Mama bakal sedih liat lo nangis kayak gini terus, lo inget kan kalo lo itu lebih tegar dari gua?"

"Mama bilang gitu.. Dulu."

Dapat kulihat ia tersenyum. Menatapku penuh ketegaran, aku amat tahu hatinya kini terasa amat sakit, melihat sosok tersayangnya berpulang. Tapi, sebuah senyuman tetap dipancarkannya untuk adik brengsek sepertiku. Aku baru sadar seberapa bersih hatinya itu, hati sosok kakak yang kini kembali menjadi idolaku.

"Maafin gua, Kak. Gua nyesel banget pernah mikir kalian yang engga-engga."

"Lupain aja. Sekarang lo temuin Papa sana, dia yang paling sedih sekarang."

Aku mengangguk dengan senyuman gentir. Yayaya mantan berandalan sekolah ini bisa saja menjadi sentimental, bukan? Dan kuakui akan menjadi terakhir kalinya dalam hidupku. Sekarang aku akan membuktikan kepada Papa dan Kak Rey bahwa pria berandalan ini bisa menyandingin mereka.

"Makasih banyak, Kak." 


So.. The second story...

Maaf kalo banyak typo dan have fun~~

See yaa!

#hhanie

a Pair of WingsWhere stories live. Discover now