Dream

26 1 0
                                    

~~Happy Reading~~

.

.

.

Impian, sesuatu yang suci menurutku. Banyak yang menginginkannya, namun belum tentu dapat menyentuhnya. Tapi, impian memberi kebebasan bagi siapa pun untuk mendekatinya, untuk menginginkannya, untuk memperjuangkannya. Dan seperti yang kita tahu, impian tak ingin sebuah kepraktisan, ia ingin diperjuangkan.

Pertama yang kulakukan setelah mendengarnya adalah...Berhenti. Kuhentikan segala langkah kala tahu bahwa hal tersebut tak mungkin dalam hidupku. Namun, nyatanya hal tersebut salah, dan aku bersyukur sudah menyadarinya. Bagaimana jika aku belum juga sadar sampai sekarang? Maka aku akan menghancurkan kesempatan yang diberikan-Nya untuk hidup.

Berawal dari menginginkannya, aku mulai merangkai impian-impian itu. Seperti yang dijanjikannya, jika aku berusaha semakin mendekatinya maka aku akan semakin dekat dengannya.

Aku bukanlah sosok yang lahir dengan keberadaan, mendapatkan sesendok nasi yang diperuntukan untuk diriku sendiri adalah hal yang amat istimewa. Setidaknya itu yang kulakukan jikalau tak memikirkan bagaimana kondisi kelima adikku. Lahir sebagai si sulung membuatku harus merelakan segalanya bagi saudara-saudaraku, tapi bukanlah sesuatu yang menyesalkan melakukannya.

Ibu adalah panutanku, tapi hatiku rasanya tidak puas, aku ingin lebih dari ibu. Aku tak ingin hanyalah menjadi sesosok petani di kampungku, aku tak ingin bangga hanya karena semua itu, aku ingin sesuatu yang besar. Akhirnya, berbekal sepeda ontel diriku memulai perjalanan menuju impian, keteguhan hati membuatku menginginkan dengan sangat akan berjumpa dengan impian. Banyak angan yang meliputi otak kala kukayuh sepedaku, seberapa hebat diriku nanti setelah sampai di kota, seberapa ibu dan ayah bangga akan sosok berhasilku? Memikirkannya saja membuat senyumku terpatri.

Namun, rasanya angan-angan hebatku harus hancur seketika kala mengetahui fakta sebenarnya. Kota bukanlah dunia yang penuh kehebatan, bukan dunia di mana mudah untuk menjemput impian. Hidupku semakin terpuruk tatkala hidup di sana. Aku tak bisa memulai perkuliahanku akibat biaya yang mencekik, aku tak bisa tidur tenang akibat sulitnya mencari pekerjaan, dan akhirnya sampailah aku di titik terlemahku. Rasanya ingin sekali kembali ke kampung halaman.

"Keajaiban adalah kata lain dari kerja keras, dosenku berkata demikian."

Masih kuingat dengan jelas tuturan satu-satunya temanku yang beruntungnya dapat berkuliah di salah satu kampus ternama. "Lalu, apa kata lain dari impian?" kala itu pertanyaan tersebut yang terngiang di kepalaku.

"Impian kata lain dari... keajaiban? Ahaha.. Maaf, aku terlampau konyol. Ini semua akibat tugas menumpukku." Aku tergelak, tapi bukan karena menertawai jawaban asalnya, tapi karena pemikiranku yang nyatanya sama seperti pikiran anehnya. Konyol.

Saat ini waktu luang tak bergunaku kuhabiskan untuk berdiam diri, terduduk dengan alas kardus dengan sepeda di sampingku. Sapuan halus percikan air hujan yang sedang berlangsung tak membuatku berhenti bergeming, tak peduli akan sebuah tripleks di atas kepala yang berjuang mempertahankan tubuhku agar selalu kering. Akankah langkahku ke sini membuatku semakin dekat dengan impianku? Atau bahkan sebaliknya? Itu yang membuatku bergeming. Perang batin terus terjadi membuatku hampir menyerah, namun pandanganku teralihkan oleh sebuah pohon stroberi yang setahuku minggu lalu mati kekeringan akibat cuaca ekstrim. Kenapa pohon kecil itu kini kembali hijau? Padahal hujan pun menerpanya sebegitu hebat.

Pemikiran dangkalku kembali melintas, membayangkan bagaimana jika diriku menjadi pohon itu. Akankah aku dapat kembali hidup sepertinya?

"Allah menciptakanmu bukan karena keinginan Ibu, Nak. Allah menciptakanmu karena keinginan-Nya. Dan Ia menciptakan segalanya karena memiliki maksudnya tersendiri."

Ya, Ibu tepat. Masa bodoh akan anggapan konyolku, aku akan melawan kejamnya kota, karena aku tahu bahwa impian kini telah menungguku. Kenapa aku harus menunda untuk menjemputnya?

Bukan perkara yang mudah untuk menjemputnya, subuh hingga petang kuhabiskan waktu untuk mengantar koran, lalu petang hingga malam kuhabiskan untuk menjual CD. Amat melelahkan, tapi senyuman selalu menghiasi wajahku kala kembali membayangkan angan-anganku akan masa depan.

Dan, benar saja. Kini semua itu bukanlah sebuah angan-angan lagi. Impian memperbolehkanku untuk menjemputnya, kemudian mengantarnya menuju kesuksesan. Dan saat ini kesuksesan telah mendampingiku, ia bahkan berjanji akan selalu bersamaku. Tapi, bukan dengan begitu saja kesuksesan bersedia mengabdi kepadaku, ia memberiku syarat yang amat sulit, namun aku akan berusaha untuk melaksanakannya.

"Bekerja keraslah selalu tanpa pandang cermin, berdoalah selalu tanpa pandang ranjang, dan percayalah kepada-Nya selalu tanpa pandang tanah kau berpijak. Maka aku berjanji untuk menemanimu sampai kau kembali kepada-Nya."

 Ya, aku kini mengerti. Keajaiban adalah kata lain dari kerja keras, dan impian adalah kata lain dari keajaiban. Lalu, kesuksesan? Ia adalah sosok dewasa dari impian.

.

.

.

Cerita ini sebenernya berdasarkan kisah nyata hmm... Hebat banget kisahnya sampai tertuang dalam cerita gini kan. 

Pokoknya untuk semuanya yang punya impian, gapailah impianmu setinggi mungkin sebelum bermimpi itu dilarang.

See yaa!!

#hhanie

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 20, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

a Pair of WingsWhere stories live. Discover now