Pahlawan Anonim

27 2 0
                                    

Putri Dwi Agnesya, teman masa kecilku, cewek yang tidurnya ileran saat SD itu ternyata jadi sangat populer di SMA, aku akui dia memang cantik, sangat cantik malah, tapi ada sesuatu yang mengganjal tentang Putri, yaitu sikapnya yang sangat dingin dan sinis terhadap siapapun yang mendekatinya sehingga dijuluki Ice Queen.

Sorak sorai berisik menderai telingaku yang malang, hal ini biasa terjadi jika rombongan Putri dan ekskul sastra melewati koridor kelasku, teriak fansgirl atau fansboy yang anehnya seperti kurang kerjaan padahal sebenarnya tugas mereka numpuk segunung.

Memecah suara krik jangkrik sehingga tak lagi kedengaran.

"Gue emang salah Dim." Yanto tiba-tiba berkata padaku.

"Apaan?" Tanyaku heran.

"Lu emang gak mungkin sama Putri." Lanjut Yanto seolah tak berdosa.

"Dih, teman kampret!" Umpatku kesal, memilih pergi meninggalkan kelas dan menuju perpustakaan dengan perasaan dongkol.

Jarak antara perpustakaan dan kelasku tidak terlalu jauh, sehingga dalam 5 menit aku telah sampai di depan perpus, kulepas sepatu dan mengisi daftar hadir lalu beranjak menuju bagian pojok kiri bangunan perpustakaan itu.

Kudapati bahwa aku tidak sendirian, di hadapanku, si Ice Queen sedang membaca buku sambil duduk dengan elegan, sesekali ia menyibakan poninya yang jatuh tergeser angin dan mengaitkannya di atas telinga sehingga tidak menutupi pandangannya.

Menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya, Putri memandangiku sejenak dan kembali ke bacaannya tak terganggu.

Situasi ini canggung bagiku, ku ambil sebuah buku dari rak yang ada di samping tempatku berdiri, buku yang ku ambil berjudul Fisika untuk Sains dan Teknik; Paul A. Tipler.

Dengan beberapa gerakkan aku duduk di dekat bangku yang di duduki putri, sementara putri tetap diam tak bergeming dan fokus pada bacaannya.

Sunyi

Sunyi

Untuk sekian menit kami saling terdiam seolah menunggu angin lewat dengan semak gurun menggelinding di tengah.

Tak ada satupun dari kami yang ingin memulai percakapan, akupun tidak tertarik untuk itu.

Sepertinya Putri tidak mengenaliku, ya sudahlah mau bagaimana lagi, berdiri dan mengambil buku lain, itulah yang aku lakukan selanjutnya.

Aku pergi ke bagian rak yang paling jarang di kunjungi siswa, tempat buku-buku lama berada, entah mengapa Putri terus memandangiku setelah berada di bagian rak itu, mungkinkah matanya sakit?.

Tidak ingin berdiam terlalu lama di tempat itu karena hawanya semakin dingin dari waktu ke waktu, aku kembali ke tempat dudukku tadi sambil menggandeng tiga buku yang kesemuanya membahas tentang teori kelistrikan.

Sekilas dapat kulihat raut wajah lega dari Putri, berbeda dengan sebelumnya, kini dia benar-benar menatapku.

"Hei kau." Serunya kepadaku.

"A-ah, ada apa?" Mulutku tergagap karena di ajak bicara tiba-tiba.

"Sebaiknya kau jangan terlalu sering ketempat tadi lagi.." Wajah Putri mendadak serius lalu melanjutkan berbisik."...Karena sepertinya dia menyukaimu."

Mulutku menelan ludah, bulu-bulu di tengkukku perlahan berdiri sebagai reaksi tubuh dalam mendeteksi bahaya.

Aku tidak bisa membayangkan wajah apa yang sedang kupasang saat ini, perasaanku campur aduk, eh, sejak kapan aku punya perasaan?.

"Anu, kalau boleh tau siapa yang kau maksud?"

"Lupakan." Mendadak ia memutar mata seperti sedang kesal, pandangannya dialihkan tak lagi melihatku, samar-samar terdengar gerutunya pelan seperti menyesali perkataannya tadi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 02, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Fake EsperWhere stories live. Discover now