CHAPTER 4

1.2K 168 67
                                    

Aelius masih ingat bagaimana ia bertemu Medivh untuk pertama kalinya, ia masih ingat tatapan wanita itu padanya saat ia melewati desa Wilgs. Entah kenapa saat itu ia begitu terpesona pada wanita berambut pirang yang tampak berbeda dengan kebanyakan wanita bagian Selatan Merenorth itu. Hatinya bilang, Medivh menarik dan yang paling mencolok dalam kerumunan itu, tetapi Aelius sendiri tidak mengerti bagaimana ia bisa menyukai penyihir seperti dia.

Aelius mencengkeram erat gelas anggurnya, matanya menatap lurus ke arah jendela. Ia merutuki dirinya sendiri karena pernah jatuh cinta pada seorang penyihir, ia sangat membenci penyihir. Bagi Aelius mereka adalah makhluk sombong yang memiliki kekuatan sihir, makhluk yang haus akan kekuasaan.

Lagi-lagi memori tentang Medivh muncul di dalam kepalanya, memori saat ia benar-benar menyukai penyihir itu dan rela menemuinya di kala waktu senggang. Aelius mengumpat keras, ia segera memikirkan hal lain untuk mengalihkan memori itu. Namun, yang muncul di kepalanya malah mengingatkan dia akan kutukan yang menimpa kerajaan dan putrinya. Sekali lagi Aelius mengumpat keras, ia membanting gelas kaca yang dipegangnya hingga hancur berkeping-keping.

"Papa." Suara Cametra yang muncul dari arah belakang membuat Aelius terkejut. Dengan cepat Aelius menoleh pada Cametra yang berdiri di ambang pintu setengah terbuka.

"Cametra." Aelius menatap putrinya, ia berjalan ke arah meja kerjanya. Ekspresi wajahnya terlihat lelah, pria itu lebih memilih duduk di kursi.

"Ada yang ingin kutanyakan." Cametra menutup pintu ruang kerja ayahnya, ia kemudian menghampiri Aelius dan menatapnya dengan penuh selidik.

"Soal perbuatanku di masa lalu?" Aelius sudah bisa menebak arah pembicaraan mereka, Cametra pasti penasaran apa yang terjadi di masa lalu antara dirinya dan Medivh. Cametra mengangguk, ia menunggu ayahnya melanjutkan. "Aku mengkhianatinya."

Cametra terkejut, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresinya. "Ceritakan padaku dari awal, aku ingin tahu."

Aelius mengembuskan napas, jari-jari tangan kanannya memainkan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. "Aku bertemu dengan Medivh tujuh belas tahun yang lalu di desa Wilgs. Percayalah Cametra, dia adalah wanita yang paling menarik dan mencolok di antara wanita desa yang lainnya. Aku jatuh cinta padanya, dan di saat yang bersamaan aku tidak bisa menikahinya. Weldorf dan Merenorth sedang mengalami konflik, pernikahan adalah cara yang terbaik untuk mengakhiri perang. Ibumu menjadi pewaris tunggal Weldorf, dan mungkin kerajaan kami bisa berdamai."

"Kau memilih mama dan meninggalkan penyihir itu?" sambar Cametra, ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi tercengang.

"Ya, demi berakhirnya perang. Seiring berjalan waktu, aku lebih mencintai ibumu dan mulai melupakan Medivh." Aelius berhenti memainkan kertas, matanya menatap Cametra dengan tatapan tak terbaca. "Aku tak percaya ia balas dendam."

"Dia tahu kau lebih memilih Mama? Dia tahu kau mencintai Mama?" tanya Cametra dengan nada bergetar.

Aelius mengangguk, ia menautkan semua jari-jarinya. "Dia tahu, dia merasa aku mengkhianatinya. Dia mencoba untuk memisahkan kami."

Cametra menganga mendengar kisah yang diceritakan Aelius, penyihir itu ternyata sangat mencintai ayahnya. Sayangnya, takdir berkata lain dengan menghadirkan Stella untuk menjadi masa depan Aelius. Cametra tidak bisa membayangkan bagaimana penyihir itu terpuruk karena patah hatinya, yang menyebabkan dia nekat mencoba memisahkan orang tuanya.

"Lalu apa yang terjadi padanya setelah tahu ia gagal memisahkan kalian?" Cametra mendekatkan dirinya ke arah meja, iris emerald-nya menatap Aelius lekat.

"Ia mengutuk Merenorth, salju turun tepat di hari kelahiranmu," ucap Aelius dengan nada datar, tapi ia merasa miris pada dirinya sendiri.

"Tapi Papa, seorang penyihir tidak bisa mengutuk dua hal sekaligus," ujar Cametra. kedua telapak tangannya berada di atas meja, menumpu di sana.

Red Bird (Bisa Dipesan di Shopee)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang