9 ǁ Langkah-Langkah Kecil

1.3K 163 154
                                    

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Langkah-Langkah Kecil

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬


"Minum dulu."

Sebuah botol air mineral yang masih tersegel terangsur tepat di hadapan Simfoni. Perempuan itu mendongak dan mendapati Beryl berdiri di sampingnya tanpa menunjukkan ekspresi berarti.

Simfoni mengangguk. Tangannya yang masih gemetar meraih botol yang diberikan Beryl dan menggenggamnya di atas meja. Tidak ada niatan untuk meminumnya. Simfoni hanya butuh menenangkan diri sekarang.

Beryl ikut duduk di samping Simfoni tanpa berkata apa pun. Ia diam, pun dengan Simfoni. Keduanya seolah sibuk dalam pikiran masing-masing. Mbak Titin yang sejak tadi duduk memperhatikan keduanya kini pamit. Katanya, dia pergi sebentar dan menitipkan warung pada Beryl. Meski tidak tahu apa-apa, Beryl tetap mengangguk. Ini bukan kali pertama Mbak Titin menitipkan warung pada anak yang ada di sana. Sepercaya itu dia memang.

Saat ini keduanya sedang berada di warung yang Simfoni ketahui sering dijadikan oleh anak laki-laki sekolahnya sebagai tempat tongkrongan. Simfoni sama sekali belum pernah ke sini, dan agaknya, dia juga tidak pernah berniat untuk mendatangi warung ini. Terlalu riskan. Warung ini selalu penuh oleh laki-laki. Dan Simfoni paling menghindari tempat-tempat yang dijadikan sebagai 'tempat kumpul' anak laki-laki. Di mana pun itu.

Sekarang saja Simfoni tidak tahu kenapa dirinya bisa mau-maunya dibawa Beryl ke tempat ini. Entah karena dia terlalu shock atas kejadian yang baru menimpanya, atau karena otaknya belum mampu berpikir jernih, atau mungkin karena keduanya. Tetapi untungnya, kali ini warung sepi, sehingga Simfoni tidak perlu takut dengan kehadiran mereka.

Kejadian beberapa menit lalu masih meninggalkan sebentuk rasa takut bagi Simfoni. Ia tidak tahu kenapa orang-orang tadi tiba-tiba menghampirinya bahkan sampai mengganggunya seperti itu. Simfoni tahu, seharusnya dengan mengikuti karate, ia menjadi bisa melindungi diri. Namun, Simfoni adalah jenis orang yang mudah panik dan begitu kepanikan itu menghampiri, seluruh isi otaknya seolah menguap. Kosong. Ia tidak bisa memikirkan apa-apa, bahkan segala hal yang sudah ia pelajari di kelas bela dirinya, tak ada satu pun yang tertinggal. Semuanya seakan lenyap.

Dan Simfoni benar-benar bersyukur atas kehadiran Beryl tadi. Jika tidak ada dia, entah akan seperti apa Simfoni sekarang.

"Minum," desak Beryl lagi karena Simfoni tak kunjung meminum air mineral yang ia berikan. Mungkin dia kasihan melihat kondisi Simfoni yang tampak mengenaskan. Tubuh perempuan itu tremor, wajah dan matanya memerah seolah tengah menahan tangis. "Apa perlu gue yang bukain?"

Pertanyaan sarkastik itu Simfoni jawab dengan gelengan cepat. Menuruti Beryl, Simfoni lantas membuka botol air mineral dengan tangan bergetar.

Simfoni tampak kesusahan. Alih-alih membantu, Beryl justru berdecak lalu meraih korek dan menyulut rokok yang sudah terselip di sela bibirnya tanpa berkata apa-apa. Berlagak cuek.

Setelah berhasil membuka botol air mineral dan meneguk beberapa tegukan kecil, Simfoni merasa dirinya sedikit lebih tenang. Ia menarik dan mengembuskan napas secara teratur untuk kembali meraih keterangan-keterangan itu. Setelah lebih baik, Simfoni lantas melirik Beryl takut-takut. Asap yang keluar dari hidung dan bibir laki-laki di sampingnya seakan ikut menyatu dengan awan kelabu di langit sana. Hujan memang belum turun, tetapi kumpulan awan hujan yang seakan berlomba memadati cakrawala seolah memberitahu bahwa dia siap menjatuhkan muatannya kapan saja. Hanya tinggal menunggu waktu sampai kapan ia mampu menahan.

Moonstruck | √Where stories live. Discover now